Surat Untuk Amih, my momtrepeneur
Assalaamualakum
Amih sayang,
Apa kabar mih? Aku harap amih selalu sehat supaya amih tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Bangun dini hari untuk shalat Tahajud, mencuci baju dan piring, memasak, shalat Subuh di mesjid, jaga warung sambil menyapu dan mengepel, kadang sambil momong cucu, menyetrika, belanja ke pasar. Tentu saja aktivitas tersebut membutuhkan banyak energi. Aku saja yang usianya lebih muda kadang kewalahan.
Aku harap amih selalu sehat biar bisa nengok cucu yang kebanyakan tinggal di luar kota. Selalu teringat di benak ini saat engkau berkata, "Sekarang amih malas kalau pergi jauh, cape, udah tua" dan dengan diam kutatap rambutmu yang memutih dan kulitmu yang mulai keriput. Ah, waktu ternyata telah berlalu banyak.
Amih sayang,
Aku harap amih selalu bahagia karena semua anakmu telah mandiri dan memiliki keluarga yang bahagia. Janganlah risau karena anak-anakmu jauh. tak jarang kudengar cerita dari bapa, diam-diam engkau sering menangis mengingat anak perempuanmu satu-satunya sekarang sudah terpisah jarak. Inginnya aku menemani amih memasuki masa tua tapi apa daya aku kini seorang istri dari menantumu. Aku yakin engkau juga berharap aku jadi istri yang taat pada suami, menemani suami dimanapun dia berada. Seperti halnya engkau yang setia mendampingi bapa. selalu terbersit risau di hatimu saat meninggalkan bapa untuk menemani aku melahirkan anak keduaku. kasihan bapa, kasihan bapa, katamu. maka setelah sedikit pulih aku harus merelakanmu pulang untuk menemani bapa berlebaran di kampung -anak keduaku lahir beberapa hari sebelum lebaran-. inginnya aku sesering mungkin menengokmu tapi apa daya tenaga dan dana seringkali kujadikan alasan. Maafkan..maafkan aku, amih.
Amih sayang,
Seharusnya kini saatnya engkau beristirahat. Seharusnya kini giliran anak-anakmu yang bekerja. Tetapi bekerja adalah hidupmu. Engkau telah membuka warung sejak awal menikah dengan bapa, sejak barang yang dijual cuma tepung dan beras, hingga kini semua barang kebutuhan pokok ada.
Masih ingat saat kecil aku sering engkau ajak berbelanja barang yang akan dijual di warung ke pasar. Pulang pergi naik angkutan pedesaan berwarna kuning yang penuh sesak dengan orang dan barang, terkadang ayam dan kambing. Berjalan dari ruko satu ke ruko yang lain. Aku takjub melihat begitu cepatnya uang berpindahtangan. Aku sempat, saat itu, dalam hati bercita-cita ingin jadi pedagang dan punya ruko yang besar. Asyik, uangnya pasti banyak. Sayang, aku tidak jadi pedagang seperti amih. Kalaupun sempat aku berjualan kosmetik saat kuliah, jualan kue saat masih ngajar, jualan obat saat udah punya anak, aku kok lebih banyak kasihan pada orang yang kutawarkan barang. Padahal seharusnya business is business ya.
Duh, kenapa aku tidak bisa seperti dirimu, amih. Jadi istri yang bisa membantu perekonomian keluarga sehingga keempat anakmu menjadi sarjana. Aku akan selalu ingat, diam-diam engkau selalu membelikanku hadiah baju dan tas tanpa sepengetahuan bapa dan suamiku karena engkau melihat ketatnya aku mengatur uang dan sibuknya aku mengurus dua anak kecilku sehingga tak sempat beli baju baru. "Ini dari penghasilan amih di warung, tidak minta ke bapa" bisik engkau. Ah, semakin kagum aku pada engkau, wanita mandiri yang tidak sepenuhnya bergantung pada penghasilan suami. Padahal engkau hanya lulusan Tsanawiyah. Jadi teringat candaan bapa waktu aku kecil saat bapa menguji kemampuan matematika antara aku dan amih. Sementara aku masih berfikir mencari jawaban, amih sudah lebih dahulu dengan cepat menjawab. Ya iyalah, setiap hari berkutat dengan kalkulator, menghitung jumlah barang, harga barang, laba rugi.
Amih, ingatkah waktu kecil aku suka mengganggumu di dapur. menanyakan bagaimana cara masak ini dan itu, merayumu biar bisa bantu memasak bahkan memporakporandakan dapur dengan hasil 'karyaku'. tapi engkau tidak marah, hanya menyayangkan banyaknya bahan yang terbuang saat kubuat puding kentang yang gagal. aku meraaa bersalah. tapi kau buat aku tersenyum lagi saat kau colek puding memble itu. enak, katamu.
ingatkah amih, engkau suka menyuruhku jaga warung padahal aku lebih suka belajar masak. tapi aku tak suka membantahmu karena itu memang tugas semua anak. enaknya aku jadi bisa belajar menghitung, jadi tahu harga barang-barang, belajar menghadapi konsumen yang rewel, dan yang pasti bisa ngemil jajanan di warung..hehe.
Amih sayang,
Aku memang belum jadi entrepreneur seperti engkau, aku hanya berusaha untuk tak terlalu menyusahkan suami dengan mengatur uang sebaik-baiknya dan membelikan keluarga menu makanan yang sehat dan murah.
Kita memang terpisah oleh jarak kini, tapi aku yakin Allah SWT akan terus menjaga engkau karena dia-lah sebaik-baik penjaga. aku yakin Allah SWT juga mendengar doa-doaku agar Dia mengumpulkan kita dalam ridha-Nya, cinta-Nya, jannah-Nya.
saat ini aku hanya bisa berkata lewat surat. nanti pasti ada saat kita menumpahkan rindu lagi.
Salam sayang dan bakti selalu
dari anakmu yang belum tuntas berbakti
Comments
Post a Comment
Terimakasih sudah meninggalkan komentar yang baik dan sopan.