Minta Maaf, Sulitkah?
Sore itu seperti biasa saya menjemput anak pulang ngaji. Beberapa anak berhamburan keluar mesjid termasuk anak saya. Dua orang anak kira-kira berumur tujuh dan delapan tahun melempar bola ke atas, ke atap mesjid. Anak lain yang lebih besar, mungkin usia SMP, yang ada di tingkat atas mesjid melemparnya lagi ke bawah. Beberapa kali seperti itu, mereka saling lempar. Baru saja khawatir terkena bola, tiba-tiba...bluk! Bola itu mendarat manis di punggung saya yang sedang membungkuk menyiapkan sepeda roda tiga si kecil.
"Aw.." saya mengaduh. Kok rasanya ketimpuk batu. Sekilas saya lihat ternyata itu sepertinya bola dari kantung plastik yang diisi pasir. Pantas saja rasanya berat di punggung. Mendengar saya mengaduh, tak satu pun dari anak-anak ini sejenak berhenti atau meminta maaf. Mungkin kalau anak yang kecil saya bisa maklum, mungkin mereka belum mengerti atau tak berani bicara dengan orang asing, tapi anak yang lebih besar? Mana dia? Ternyata setelah dia tahu bola mendarat di punggung saya dia malah tak kelihatan batang hidungnya. Masya Allah, inikah sopan santun anak yang dididik di mesjid?
Sedikit dongkol -ditambah perasaan yang sedang tak enak *hehe alasan-, saya teriak, "Hei, mainnya jangan seperti itu dong. Ada anak-anak lewat, berhenti dulu sebentar.." Boro-boro jawab 'iya', sepertinya mendengar saja tidak. Lalu segera saya bawa anak-anak pulang sebelum kena bola lagi.
Masih berfikir, sebenarnya kapan sih seseorang itu dengan sadar meminta maaf ketika punya kesalahan? Atau saya saja yang gila sopan santun? Mm, seingat saya waktu ngajar anak kelas dua SD dulu, ada saja anak yang minta maaf ketika sadar mereka salah. Anak saya, enam tahun, kalau tak sengaja senggol ibunya saja langsung minta maaf.
Lalu saya mencoba mencari tahu sejauh mana anak saya mengetahui perbuatan seseorang itu salah atau tidak. Sambil berjalan pulang, saya tanya "Kakak, liat tidak anak yang tadi lempar bola ke umi?"
"Iya, lihat"
"Punggung umi sakit nih kak. Tadi kenapa kakak diam saja, tidak belain umi"
"Habis anaknya lebih besar"
"Iya sih. Kalau kakak seperti mereka, main bola terus kena orang, mau minta maaf tidak?"
"Ng..ngga tau"
"Kok ngga tau, di rumah kakak minta maaf sama umi kalau salah"
"Ng..ngga berani"
"Belajar berani ya, kalo salah harus minta maaf"
Mungkin harapan saya yang terlalu besar pada anak, tapi setidaknya saya pernah memberitahu dia untuk minta maaf jika salah. Suatu saat ketika dia makin percaya diri, dia akan berani minta maaf bahkan berbuat lebih untuk lingkungan. Amin.
Menurut sedikit pengalaman saya, anak-anak sebenarnya mendengar apa yang orang dewasa katakan. Hanya saja, mereka tidak langsung mengiyakan atau melakukan yang diminta. Cerita seorang ibu, setiap hari dia memberitahu anaknya supaya meyimpan tas dan sepatu di tempatnya sepulang sekolah. Baru berapa tahun kemudian si anak dengan sadar melaksanakan yang diminta. Mereka menyimpan memori nasihat itu bertahun-tahun untuk kemudian dilaksanakannya dengan sadar. Ya, mungkin itu yang harusnya ibu lakukan, tetap sabar, tetap konsisten, tetap berdoa.
Kembali pada 'maaf', memang minta maaf sepertinya hal sepele ya. Seringkali kita mendengar berita tawuran atau konflik karena kesenggol sedikit atau hal kecil lainnya dan masing-masing enggan mengalah serta minta maaf. Berapa banyak pasangan yang bercerai karena masing-masing tak mau menghinakan diri meminta maaf terlebih dahulu. Orang dewasanya saja sulit minta maaf, apalagi anak-anak. Padahal mungkin saja dengan kata maaf itu akan tercipta hal-hal hebat, misalnya kebersamaan yang indah. Tapi, bagaimana kalau mengulang kesalahan dengan sengaja karena mudah menebusnya dengan maaf? Hati-hatilah, khawatir jika berbuat salah sudah menjadi karakter. Naudzubillah.
Catatan ini hanya sebuah perenungan untuk diri sendiri.
Bener banget, Mak. Huhuhu.... terkadang, aku sering susah untuk minta maaf. :(
ReplyDeleteHihi saya juga sebenarnya
Deleteiya mbak,,katanya orang paling susah bilang 3 kata ini:
ReplyDelete> maaf
> permisi
> terimakasih