Buah Ikhlas
Ikhlas itu seperti surat Al Ikhlas, tak ada kata ikhlas di dalamnya..
Beberapa kali saya pernah mendengar dan membaca kalimat di atas. Saya renungkan. Ya, ada benarnya kalimat itu. Ikhlas itu tak perlu kita berkata, saya ikhlas jika anu dan anu. Cukup perbuatan yang ditunjukkan dan Allah SWT yang akan menilainya apakah kita ikhlas atau tidak.
Kira-kira delapan tahun lalu, saya kembali ke Jakarta, kali ini diboyong oleh suami. Kami masih awal sekali menikah, masih pengantin baru. Siang hari saat suami pergi mencari nafkah, kadang saya merasa kesepian. Oleh karena itu suami menganjurkan untuk ikut pengajian dekat rumah kontrakan. Diantarnya saya ke sebuah rumah sekaligus markas sebuah yayasan sosial di Jalan Bangka Jakarta Selatan yang salah satu kegiatannya mengadakan pengajian rutin.
Sementara suami menunggu di teras, saya memasuki rumah megah bertingkat dua itu dengan takjub. Adem, furniture yang sebagian besar dari kayu menghias rumah dengan elegan. Tak lama seorang wanita berkerudung, tinggi dan putih keluar. Walau usianya terbilang tak muda lagi, ia masih terlihat cantik.
Ia memperkenalkan dirinya, orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Ummi B (Maaf ya saya samarkan, belum Ijin nih mengangkat profil beliau. Mudah-mudahan beliau tak keberatan untuk menjadi inspirasi). Begitu juga saya memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan. Kami mengobrol sebentar dan beliau mempersilahkan saya datang ke pengajian rutin yang diadakannya.
Hari demi hari, minggu demi minggu, saya mulai mengenal Ummi B. Kurang lebih tiga tahun dari tahun 2006 akhir sampai 2009 akhir saya berinteraksi dengan beliau. Saya dapat melihat beliau adalah orang yang baik, yang tak segan menggunakan harta pribadi di jalan Tuhan, yang tak pelit membagi ilmu dan pengalaman yang dimiliki. Diam-diam saya mengaguminya, 'mencuri' ilmu dan pengalamannya dan berusaha meniru perbuatan baiknya.
Ada satu cerita Ummi B yang masih saya ingat, cerita tentang sebuah KEIKHLASAN berkorban dan berbagi ilmu yang buahnya dipetik setelah puluhan tahun. Ini ceritanya saya tulis kembali dengan gaya saya dan mengambil sudut pandang pertama:
(Ilustrasi dari sini)
Akhirnya aku menikah dengan seorang lelaki salih. Lelaki yang InsyaAllah dapat membimbingku menuju surga-Nya. Penghasilannya memang tak seberapa, bahkan lebih besar penghasilanku yang berprofesi sebagai sekretaris. Tapi aku tidak mempermasalahkan itu. Bagiku, menikah dengan lelaki salih yang dapat membimbing dan membahagiakanku, itu sudah cukup.
Suatu hari, suami memintaku berhenti dari pekerjaanku. Beliau menilai pekerjaan ini banyak mudharatnya karena banyak bersinggungan dengan lawan jenis dan terutama aku sering lembur menyelesaikan pekerjaan. Tahu sendiri kan pekerjaan sekretaris itu buaaanyaaak, mengurus pimpinan dari hal kecil sampai besar. Walau pada awalnya berat, aku akhirnya keluar dari pekerjaanku. Bismillah, aku niatkan untuk ibadah, pengabdian pada keluarga. InsyaAllah rejeki dari Allah tak akan salah alamat.
Duduk diam di rumah sambil menunggu suami pulang, bukanlah diriku. Aku mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan waktu banyak atau lembur. Akhirnya aku memutuskan untuk menjadi guru privat. Aku mengajar seorang anak kecil: membaca, menulis dan mengaji. Kadang ketika tak ada pekerjaan, suami mengantarku ke tempat aku mengajar.
Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk pekerjaanku, apapun pekerjaannya asalkan halal dan suami ridha. Aku bawakan majalah-majalah atau buku bekas agar anak yang kuajar bisa membaca. Tak sekalipun aku pernah bertemu ayah dan ibu si anak saat aku ke rumahnya. Aku maklum, keduanya bekerja mencari nafkah.
Suatu hari saat aku mengajar privat, aku dipanggil oleh orangtua si anak. Aku terkejut. Apakah aku berbuat kesalahan, pikirku? Ternyata mereka ingin menyampaikan rasa terkejut dan terimakasih mereka karena anaknya sudah bisa membaca. Semua orangtua pasti kaget campur bahagia ketika mendapati anaknya pertamakali bisa membaca. Lalu orangtua si anak menanyaiku macam-macam, apa pekerjaan suamiku, dimana suamiku kerja, dan sebagainya. Di akhir perbincangan, mereka menawari suamiku bekerja di perusahaan tempat mereka bekerja!!!!
Sekarang, puluhan tahun suamiku bekerja, sudah menduduki posisi strategis. Kami punya tempat tinggal yang nyaman. Beberapa mobil siap mengantar suami bekerja dan anak-anak sekolah. Aku bisa meneruskan pendidikan pasca sarjana. Anak-anak sekolah di tempat yang bagus.
Aku bersyukur ya Allah dengan semua pemberianmu. Apalagi jika melihat ke belakang pada saat aku mengalami kesulitan, membeli es yang lewat di depan rumah saat terik matahari harus kutahan. Dan sebagai rasa syukur, aku dirikan yayasan KAKAS yang bergerak di segala bidang: ekonomi, pendidikan, agama, sosial, dan lain-lain.
(Acara pengajian bulanan di Yayasan KAKAS)
***
Ummi B telah menginspirasi saya tentang sebuah arti keikhlasan. Keikhlasannya berkorban keluar dari pekerjaan dan keikhlasannya bekerja mengajarkan anak orang lain membaca, telah berbuah rejeki yang Allah ganti berlipat-lipat.
Keikhlasannya bukan sekedar kata, tapi perbuatan. Saya adalah saksinya. Beliau mempersilahkan saya dan seorang teman untuk mengakses internet di rumahnya untuk keperluan yayasan. Di rumahnya yang megah loh, yang sebagian orang beranggapan rumahku privasiku. Beliau memberi saya flashdisk untuk keperluan yayasan. Dan jika ada acara yayasan beliau tak segan menggelontorkan dana.
Jika anda ke Jalan Bangka, tak jauh dari mesjid Al hikmah, anda tanya yayasan KAKAS (Komite Aksi kasih Sayang) insyaAllah orang akan tahu. Kegiatannya berupa bakti sosial, beasiswa pendidikan untuk yang kurang mampu, pelatihan-pelatihan, pengajian rutin, dan sebagainya. Mm..itulah enaknya kalau banyak uang ya, bisa memberi pada banyak orang yang kurang mampu.
Yuk ah kita selalu yakinkan diri bahwa Allah Maka Kaya dan senantiasa ikhlas, mensyukuri apapun yang diberikan-Nya. Tentu saja sambil tak henti berikhtiar.
Tulisan diikutsertakan dalam Giveaway IKHLAS dari adeanita.com.
Beberapa kali saya pernah mendengar dan membaca kalimat di atas. Saya renungkan. Ya, ada benarnya kalimat itu. Ikhlas itu tak perlu kita berkata, saya ikhlas jika anu dan anu. Cukup perbuatan yang ditunjukkan dan Allah SWT yang akan menilainya apakah kita ikhlas atau tidak.
Kira-kira delapan tahun lalu, saya kembali ke Jakarta, kali ini diboyong oleh suami. Kami masih awal sekali menikah, masih pengantin baru. Siang hari saat suami pergi mencari nafkah, kadang saya merasa kesepian. Oleh karena itu suami menganjurkan untuk ikut pengajian dekat rumah kontrakan. Diantarnya saya ke sebuah rumah sekaligus markas sebuah yayasan sosial di Jalan Bangka Jakarta Selatan yang salah satu kegiatannya mengadakan pengajian rutin.
Sementara suami menunggu di teras, saya memasuki rumah megah bertingkat dua itu dengan takjub. Adem, furniture yang sebagian besar dari kayu menghias rumah dengan elegan. Tak lama seorang wanita berkerudung, tinggi dan putih keluar. Walau usianya terbilang tak muda lagi, ia masih terlihat cantik.
Ia memperkenalkan dirinya, orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Ummi B (Maaf ya saya samarkan, belum Ijin nih mengangkat profil beliau. Mudah-mudahan beliau tak keberatan untuk menjadi inspirasi). Begitu juga saya memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan. Kami mengobrol sebentar dan beliau mempersilahkan saya datang ke pengajian rutin yang diadakannya.
Hari demi hari, minggu demi minggu, saya mulai mengenal Ummi B. Kurang lebih tiga tahun dari tahun 2006 akhir sampai 2009 akhir saya berinteraksi dengan beliau. Saya dapat melihat beliau adalah orang yang baik, yang tak segan menggunakan harta pribadi di jalan Tuhan, yang tak pelit membagi ilmu dan pengalaman yang dimiliki. Diam-diam saya mengaguminya, 'mencuri' ilmu dan pengalamannya dan berusaha meniru perbuatan baiknya.
Ada satu cerita Ummi B yang masih saya ingat, cerita tentang sebuah KEIKHLASAN berkorban dan berbagi ilmu yang buahnya dipetik setelah puluhan tahun. Ini ceritanya saya tulis kembali dengan gaya saya dan mengambil sudut pandang pertama:
(Ilustrasi dari sini)
Akhirnya aku menikah dengan seorang lelaki salih. Lelaki yang InsyaAllah dapat membimbingku menuju surga-Nya. Penghasilannya memang tak seberapa, bahkan lebih besar penghasilanku yang berprofesi sebagai sekretaris. Tapi aku tidak mempermasalahkan itu. Bagiku, menikah dengan lelaki salih yang dapat membimbing dan membahagiakanku, itu sudah cukup.
Suatu hari, suami memintaku berhenti dari pekerjaanku. Beliau menilai pekerjaan ini banyak mudharatnya karena banyak bersinggungan dengan lawan jenis dan terutama aku sering lembur menyelesaikan pekerjaan. Tahu sendiri kan pekerjaan sekretaris itu buaaanyaaak, mengurus pimpinan dari hal kecil sampai besar. Walau pada awalnya berat, aku akhirnya keluar dari pekerjaanku. Bismillah, aku niatkan untuk ibadah, pengabdian pada keluarga. InsyaAllah rejeki dari Allah tak akan salah alamat.
Duduk diam di rumah sambil menunggu suami pulang, bukanlah diriku. Aku mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan waktu banyak atau lembur. Akhirnya aku memutuskan untuk menjadi guru privat. Aku mengajar seorang anak kecil: membaca, menulis dan mengaji. Kadang ketika tak ada pekerjaan, suami mengantarku ke tempat aku mengajar.
Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk pekerjaanku, apapun pekerjaannya asalkan halal dan suami ridha. Aku bawakan majalah-majalah atau buku bekas agar anak yang kuajar bisa membaca. Tak sekalipun aku pernah bertemu ayah dan ibu si anak saat aku ke rumahnya. Aku maklum, keduanya bekerja mencari nafkah.
Suatu hari saat aku mengajar privat, aku dipanggil oleh orangtua si anak. Aku terkejut. Apakah aku berbuat kesalahan, pikirku? Ternyata mereka ingin menyampaikan rasa terkejut dan terimakasih mereka karena anaknya sudah bisa membaca. Semua orangtua pasti kaget campur bahagia ketika mendapati anaknya pertamakali bisa membaca. Lalu orangtua si anak menanyaiku macam-macam, apa pekerjaan suamiku, dimana suamiku kerja, dan sebagainya. Di akhir perbincangan, mereka menawari suamiku bekerja di perusahaan tempat mereka bekerja!!!!
Sekarang, puluhan tahun suamiku bekerja, sudah menduduki posisi strategis. Kami punya tempat tinggal yang nyaman. Beberapa mobil siap mengantar suami bekerja dan anak-anak sekolah. Aku bisa meneruskan pendidikan pasca sarjana. Anak-anak sekolah di tempat yang bagus.
Aku bersyukur ya Allah dengan semua pemberianmu. Apalagi jika melihat ke belakang pada saat aku mengalami kesulitan, membeli es yang lewat di depan rumah saat terik matahari harus kutahan. Dan sebagai rasa syukur, aku dirikan yayasan KAKAS yang bergerak di segala bidang: ekonomi, pendidikan, agama, sosial, dan lain-lain.
(Acara pengajian bulanan di Yayasan KAKAS)
***
Ummi B telah menginspirasi saya tentang sebuah arti keikhlasan. Keikhlasannya berkorban keluar dari pekerjaan dan keikhlasannya bekerja mengajarkan anak orang lain membaca, telah berbuah rejeki yang Allah ganti berlipat-lipat.
Keikhlasannya bukan sekedar kata, tapi perbuatan. Saya adalah saksinya. Beliau mempersilahkan saya dan seorang teman untuk mengakses internet di rumahnya untuk keperluan yayasan. Di rumahnya yang megah loh, yang sebagian orang beranggapan rumahku privasiku. Beliau memberi saya flashdisk untuk keperluan yayasan. Dan jika ada acara yayasan beliau tak segan menggelontorkan dana.
Jika anda ke Jalan Bangka, tak jauh dari mesjid Al hikmah, anda tanya yayasan KAKAS (Komite Aksi kasih Sayang) insyaAllah orang akan tahu. Kegiatannya berupa bakti sosial, beasiswa pendidikan untuk yang kurang mampu, pelatihan-pelatihan, pengajian rutin, dan sebagainya. Mm..itulah enaknya kalau banyak uang ya, bisa memberi pada banyak orang yang kurang mampu.
Yuk ah kita selalu yakinkan diri bahwa Allah Maka Kaya dan senantiasa ikhlas, mensyukuri apapun yang diberikan-Nya. Tentu saja sambil tak henti berikhtiar.
Tulisan diikutsertakan dalam Giveaway IKHLAS dari adeanita.com.
subhanallah, luar biasa cerita Ummi B
ReplyDeleteMakasih Ela.sudah mampir..
ReplyDeletekeikhlasan yang berbuah manis
ReplyDeleteBetul mba..
ReplyDelete