Sepenggal Kenangan di Sekolah Alam Bintaro
Empat tahun lalu saya diterima sebagai tenaga pengajar di sekolah ini. Saya senang sekali. Baru beberapa bulan pindah ke daerah Bintaro, sudah dapat pekerjaan ini. Saya memang menyukai anak kecil dan hal yang berbau alam. Saat itu saya merasakan ini benar-benar pekerjaan yang sesuai dengan minat saya.
Sekolah itu adalah Sekolah Alam Bintaro. Letaknya di Jalan Raya Pondok Pucung nomor 88 Sektor IX Bintaro Jaya, Tangerang Selatan. Begitu masuk gerbang, suasana alam sudah terasa. Ada taman kecil dan area berbatu yang merupakan tempat parkir untuk karyawan dan pengunjung. Sebuah bangunan kantor berdiri tak jauh dari gerbang. Di depannya ada bangku-bangku kayu yang dinaungi payung untuk tempat menunggu.
Jika kita menyusuri jalan berbatu, kita akan melewati hamparan hijau rerumputan dan pepohonan. Beberapa bangunan yang ada di Sekolah Alam Bintaro adalah saung-saung tempat belajar dan bangunan tiga lantai yang merupakan area perpustakaan, laboratorium komputer dan kantor yayasan. Di bagian belakang sekolah ada lapangan outbound serta area berkebun dan beternak. Untuk ibadah shalat, biasanya menggunakan mesjid umum di samping sekolah.
(Sumber: mommiesdaily.com)
Kegiatan belajar mengajar seringkali dilakukan di luar ruangan. Belajar berhitung, menulis, observasi dan lainnya menggunakan media yang ada di sekitar. Belajar jadi seperti bermain. Inilah tantangan bagi seorang pengajar agar materi tetap sampai pada anak namun dengan cara menyenangkan. Pendidikan di sekolah alam mengedepankan akhlak baik, logika dan ilmiah, leadership dan entrepreneurship. Anak-anak diajarkan menghormati yang tua dengan cara mengucapkan salam dan bersalaman ketika bertemu guru dan orangtua lain. Kegiatan opening dan closing class dipimpin oleh salah seorang anak secara bergantian untuk mengasah jiwa kepemimpinan mereka. Begitu juga kegiatan shalat, dipimpin bergantian. Kegiatan entrepreneurship dilakukan dengan membuat kerajinan atau makanan lalu dijual pada teman yang lain. Anak-anak juga diminta membawa barang bekas setiap pekan. Barang bias tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran, sekaligus mengurangi sampah di rumah.
Kurikulum yang digunakan di Sekolah Alam Bintaro menggunakan gabungan kurikulum nasional dan luar negeri. Para pengajar juga mendapat berbagai pelatihan untuk bekal mengajar. Oh ya, sekolah alam merupakan sekolah inklusi dimana anak berkebutuhan khusus dapat belajar dan bersosialisasi dengan anak normal. Mereka akan belajar untuk saling berempati satu sama lain.
Banyak dari kita berpendapat bahwa sekolah alam itu cocok untuk anak yang hiperaktif yang tidak bisa duduk diam di kelas. Namun menurut psikolog Nuroktaviyani, sekolah alam bisa untuk semua anak. Simak pendapat beliau dalam sebuah artikel di www.koran-sindo.com :
Secara umum, manfaat sekolah alam, yakni sang anak dapat memaksimalkan fungsi visual, auditori, dan kinestetik. Untuk anak aktif, gunanya agar ia lebih aware dan peduli dengan lingkungan tanpa kehilangan pendidikan dasar yang harus dipelajari. Bagi anak hiperaktif, gunanya untuk mengarahkan dia agar mengerti do dandon’t,juga menumbuhkan sikap disiplin dan tanggung jawab.
Bagi anak yang cenderung pendiam, bagus untuk melatih kemampuan dia beradaptasi, baik beradaptasi dengan guru, siswa lain, maupun dengan makhluk hidup dan lingkungan di sekitarnya. Jadi, sebelum menentukan sang anak harus dimasukkan ke sekolah mana, itu semua bergantung Anda sebagai orang tua dan anak itu sendiri.
(Sumber: dokumen pribadi)
Di sekolah alam, saya banyak belajar bagaimana menghadapi anak dari para pengajar lain. Simaklah catatan salah seorang pengajar bernama Bu Diah (nama disamarkan) tentang anak didiknya yang bernama Didi (nama disamarkan) berikut ini.
27 Juli - Agustus 2009
Saat ditinggal ibunya, Didi langsung menangis, berteriak kencang, menendang, memukul. Saat permintaannya tak dituruti, Didi juga memukul orang lain dan dirinya sendiri.
7 Agustus 2009
Didi menangis, berteriak dan menginjak-injak tas saat ditinggal ibunya. Setelah berkali-kali diperingatkan, Bu Diah membawa tas Didi ke kelas. Tangisan Didi semakin keras. Ia memukul, berteriak dan menyemburkan ludah ke muka Bu Diah karena Bu Diah memintanya duduk di pojok kelas. Bu Diah mempetingatkan Didi, namun Didi malah meludahi temannya. Bu Diah membiarkan Didi di kelas agar tenang didampingi seorang helper. Namun Didi malah menggigit sang helper dan tak mau meminta maaf. Setelah beberapa saat, Didi akhirnya mau mengikuti kegiatan pembelajaran.
10-14 Agustus 2009
Didi masih menangis dan berteriak saat ditinggal ibunya. Saat shalat Dhuha, ia meminta Bu Diah memegangi tangannya untuk takbiratul ihram. Bu Diah bersedia dengan syarat hanya 1 jari yang dipegangi dan Didi mau menyelesaikan shalat beserta doanya.
18 Agustus 2009
Didi mau mengikuti opening class walau harus dibimbing setelah teman-temannya selesai. Didi juga mau mengikuti lomba menangkap belut, namun tak mau ikut lomba balap karung.
19 Agustus 2009
Terjadi insiden kecil saat outing ke kantor pos. Didi asyik membersihkan sandalnya. Seorang helper membantu membersihkannya. Namun karena merasa kurang bersih, Didi 'meminta' sang helper membersihkannya lagi. Bu Diah meminta helper tidak menuruti suruhan Didi. Didi pun meraung, berteriak, dan memukul.
20 Agustus 2009
Saat kegiatan tarhib Ramadhan, Didi tidak mau memakai baju daerah dan mengikuti pawai. Namun akhirnya Didi mau ikut kegiatan ini ditemani pengajar lain.
26 Agustus 2009
Didi meminum susu kotaknya di perjalanan pulang menuju mobil. Padahal Bu Diah sudah memintanya minum di mobil karena semua orang sedang berpuasa. Didi menolak. Didi meminta neneknya yang datang menjemput untuk membawakan tasnya. Karena permintaannya tak dituruti, Didi mulai menangis, berteriak, dan memaki. Didi juga menginjak tasnya dan membuang pakaian olahraganya lalu menginjaknya. Sampai di mobil Didi masih terus menangis dan memukul kepalanya sendiri.
Dan seterusnya.
(Sumber: dokumen pribadi)
Hmm, bisakah kita membayangkan berbagai adegan itu? Bagaimana jika kita di posisi Bu Diah? Akankah kita sesabar beliau menghadapi anak-anak seperti Didi. Tak heran, banyak orangtua -termasuk saya- ingin memberi hadiah pada pengajar saat kenaikan kelas karena merasa terbantu dalam mendidik anak. Walau sebenarnya peraturan sekolah tidak membolehkan.
Luar biasa perjuangan seorang guru yang total dalam pekerjaannya. Ia harus konsisten dan tegas menerapkan disiplin pada anak didik walau dalam hati tak tega. Ia harus menyimpan masalahnya sendiri agar senyum tetap hadir untuk anak didiknya. Setelah jam sekolah usai, tugas-tugas laporan pembelajaran dan kegiatan pelatihan menanti. Seringkali harus lembur jika musim raport-an atau kegiatan tahunan.
Masih banyak Bu Diah lainnya di sekolah alam dan sekolah lainnya di penjuru nusantara. Misalnya para pengajar pendamping anak berkebutuhan khusus (special needs teacher) di sekolah alam. Saya teringat seorang special needs teacher pria di kelas yang saya ajar waktu itu. Tangannya penuh dengan bekas cakaran. Namun dia menjalani tugasnya seperti biasa dengan profesional. Kini, saya sudah tidak lagi mengajar di Sekolah Alam Bintaro. Begitu juga dengan Bu Diah. Namun saya selalu mengenang semangat sahabat-sahabat pengajar di sana dan berharap semangat itu 'menular' pada saya. Menuliskan tentang Sekolah Alam Bintaro, membuat saya bertanya-tanya: apa kabar anak-anakku di sana? Apa kabar Didi?
Pada akhirnya, menurut saya pribadi sekolah alam maupun konvensional sama baiknya karena anak juga perlu bersaing dan berfikir maju di sekolah konvensional. Bahkan, psikolog Nuroktaviyani dan Arif Purwanto menyarankan sekolah alam untuk anak usia Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-Kanak (TK) saja. Namun tentu saja pilihan sekolah lagi-lagi diserahkan pada orangtua dan anak itu sendiri. Selama kita bisa memanfaatkan alam dan lingkungan sekitar sekitar sebagai media belajar -karena alam merupakan bagian dari hidup kita-, Selama ada pengajar seperti Bu Diah yang mencintai dunia pendidikan dan total dalam pekerjaannya, Selama pendidikan di sekolah mengutakan akhlak baik, Selama itu juga kita orangtua tak perlu khawatir dimana anak Akan bersekolah.
Tulisan diikutsertakan dalam Giveaway Sekolah Impian
youtube mommylicious #parentingbook
Catatan: Mohon maaf, nama-nama disamarkan agar tak mengganggu privasi yang bersangkutan. Tulisan ini dibuat berdasar kondisi saat saya masih mengajar di sana. Kondisi terkini mengenai fisik, pembelajaran dan sebagainya bisa menghubungi link Sekolah Alam Bintaro.
Sumber referensi: catatan pribadi Bu Diah, koran-sindo.com, mommiesdaily.com
Sekolah itu adalah Sekolah Alam Bintaro. Letaknya di Jalan Raya Pondok Pucung nomor 88 Sektor IX Bintaro Jaya, Tangerang Selatan. Begitu masuk gerbang, suasana alam sudah terasa. Ada taman kecil dan area berbatu yang merupakan tempat parkir untuk karyawan dan pengunjung. Sebuah bangunan kantor berdiri tak jauh dari gerbang. Di depannya ada bangku-bangku kayu yang dinaungi payung untuk tempat menunggu.
Jika kita menyusuri jalan berbatu, kita akan melewati hamparan hijau rerumputan dan pepohonan. Beberapa bangunan yang ada di Sekolah Alam Bintaro adalah saung-saung tempat belajar dan bangunan tiga lantai yang merupakan area perpustakaan, laboratorium komputer dan kantor yayasan. Di bagian belakang sekolah ada lapangan outbound serta area berkebun dan beternak. Untuk ibadah shalat, biasanya menggunakan mesjid umum di samping sekolah.
(Sumber: mommiesdaily.com)
Kegiatan belajar mengajar seringkali dilakukan di luar ruangan. Belajar berhitung, menulis, observasi dan lainnya menggunakan media yang ada di sekitar. Belajar jadi seperti bermain. Inilah tantangan bagi seorang pengajar agar materi tetap sampai pada anak namun dengan cara menyenangkan. Pendidikan di sekolah alam mengedepankan akhlak baik, logika dan ilmiah, leadership dan entrepreneurship. Anak-anak diajarkan menghormati yang tua dengan cara mengucapkan salam dan bersalaman ketika bertemu guru dan orangtua lain. Kegiatan opening dan closing class dipimpin oleh salah seorang anak secara bergantian untuk mengasah jiwa kepemimpinan mereka. Begitu juga kegiatan shalat, dipimpin bergantian. Kegiatan entrepreneurship dilakukan dengan membuat kerajinan atau makanan lalu dijual pada teman yang lain. Anak-anak juga diminta membawa barang bekas setiap pekan. Barang bias tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran, sekaligus mengurangi sampah di rumah.
Kurikulum yang digunakan di Sekolah Alam Bintaro menggunakan gabungan kurikulum nasional dan luar negeri. Para pengajar juga mendapat berbagai pelatihan untuk bekal mengajar. Oh ya, sekolah alam merupakan sekolah inklusi dimana anak berkebutuhan khusus dapat belajar dan bersosialisasi dengan anak normal. Mereka akan belajar untuk saling berempati satu sama lain.
Banyak dari kita berpendapat bahwa sekolah alam itu cocok untuk anak yang hiperaktif yang tidak bisa duduk diam di kelas. Namun menurut psikolog Nuroktaviyani, sekolah alam bisa untuk semua anak. Simak pendapat beliau dalam sebuah artikel di www.koran-sindo.com :
Secara umum, manfaat sekolah alam, yakni sang anak dapat memaksimalkan fungsi visual, auditori, dan kinestetik. Untuk anak aktif, gunanya agar ia lebih aware dan peduli dengan lingkungan tanpa kehilangan pendidikan dasar yang harus dipelajari. Bagi anak hiperaktif, gunanya untuk mengarahkan dia agar mengerti do dandon’t,juga menumbuhkan sikap disiplin dan tanggung jawab.
Bagi anak yang cenderung pendiam, bagus untuk melatih kemampuan dia beradaptasi, baik beradaptasi dengan guru, siswa lain, maupun dengan makhluk hidup dan lingkungan di sekitarnya. Jadi, sebelum menentukan sang anak harus dimasukkan ke sekolah mana, itu semua bergantung Anda sebagai orang tua dan anak itu sendiri.
(Sumber: dokumen pribadi)
Di sekolah alam, saya banyak belajar bagaimana menghadapi anak dari para pengajar lain. Simaklah catatan salah seorang pengajar bernama Bu Diah (nama disamarkan) tentang anak didiknya yang bernama Didi (nama disamarkan) berikut ini.
27 Juli - Agustus 2009
Saat ditinggal ibunya, Didi langsung menangis, berteriak kencang, menendang, memukul. Saat permintaannya tak dituruti, Didi juga memukul orang lain dan dirinya sendiri.
7 Agustus 2009
Didi menangis, berteriak dan menginjak-injak tas saat ditinggal ibunya. Setelah berkali-kali diperingatkan, Bu Diah membawa tas Didi ke kelas. Tangisan Didi semakin keras. Ia memukul, berteriak dan menyemburkan ludah ke muka Bu Diah karena Bu Diah memintanya duduk di pojok kelas. Bu Diah mempetingatkan Didi, namun Didi malah meludahi temannya. Bu Diah membiarkan Didi di kelas agar tenang didampingi seorang helper. Namun Didi malah menggigit sang helper dan tak mau meminta maaf. Setelah beberapa saat, Didi akhirnya mau mengikuti kegiatan pembelajaran.
10-14 Agustus 2009
Didi masih menangis dan berteriak saat ditinggal ibunya. Saat shalat Dhuha, ia meminta Bu Diah memegangi tangannya untuk takbiratul ihram. Bu Diah bersedia dengan syarat hanya 1 jari yang dipegangi dan Didi mau menyelesaikan shalat beserta doanya.
18 Agustus 2009
Didi mau mengikuti opening class walau harus dibimbing setelah teman-temannya selesai. Didi juga mau mengikuti lomba menangkap belut, namun tak mau ikut lomba balap karung.
19 Agustus 2009
Terjadi insiden kecil saat outing ke kantor pos. Didi asyik membersihkan sandalnya. Seorang helper membantu membersihkannya. Namun karena merasa kurang bersih, Didi 'meminta' sang helper membersihkannya lagi. Bu Diah meminta helper tidak menuruti suruhan Didi. Didi pun meraung, berteriak, dan memukul.
20 Agustus 2009
Saat kegiatan tarhib Ramadhan, Didi tidak mau memakai baju daerah dan mengikuti pawai. Namun akhirnya Didi mau ikut kegiatan ini ditemani pengajar lain.
26 Agustus 2009
Didi meminum susu kotaknya di perjalanan pulang menuju mobil. Padahal Bu Diah sudah memintanya minum di mobil karena semua orang sedang berpuasa. Didi menolak. Didi meminta neneknya yang datang menjemput untuk membawakan tasnya. Karena permintaannya tak dituruti, Didi mulai menangis, berteriak, dan memaki. Didi juga menginjak tasnya dan membuang pakaian olahraganya lalu menginjaknya. Sampai di mobil Didi masih terus menangis dan memukul kepalanya sendiri.
Dan seterusnya.
(Sumber: dokumen pribadi)
Hmm, bisakah kita membayangkan berbagai adegan itu? Bagaimana jika kita di posisi Bu Diah? Akankah kita sesabar beliau menghadapi anak-anak seperti Didi. Tak heran, banyak orangtua -termasuk saya- ingin memberi hadiah pada pengajar saat kenaikan kelas karena merasa terbantu dalam mendidik anak. Walau sebenarnya peraturan sekolah tidak membolehkan.
Luar biasa perjuangan seorang guru yang total dalam pekerjaannya. Ia harus konsisten dan tegas menerapkan disiplin pada anak didik walau dalam hati tak tega. Ia harus menyimpan masalahnya sendiri agar senyum tetap hadir untuk anak didiknya. Setelah jam sekolah usai, tugas-tugas laporan pembelajaran dan kegiatan pelatihan menanti. Seringkali harus lembur jika musim raport-an atau kegiatan tahunan.
Masih banyak Bu Diah lainnya di sekolah alam dan sekolah lainnya di penjuru nusantara. Misalnya para pengajar pendamping anak berkebutuhan khusus (special needs teacher) di sekolah alam. Saya teringat seorang special needs teacher pria di kelas yang saya ajar waktu itu. Tangannya penuh dengan bekas cakaran. Namun dia menjalani tugasnya seperti biasa dengan profesional. Kini, saya sudah tidak lagi mengajar di Sekolah Alam Bintaro. Begitu juga dengan Bu Diah. Namun saya selalu mengenang semangat sahabat-sahabat pengajar di sana dan berharap semangat itu 'menular' pada saya. Menuliskan tentang Sekolah Alam Bintaro, membuat saya bertanya-tanya: apa kabar anak-anakku di sana? Apa kabar Didi?
Pada akhirnya, menurut saya pribadi sekolah alam maupun konvensional sama baiknya karena anak juga perlu bersaing dan berfikir maju di sekolah konvensional. Bahkan, psikolog Nuroktaviyani dan Arif Purwanto menyarankan sekolah alam untuk anak usia Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-Kanak (TK) saja. Namun tentu saja pilihan sekolah lagi-lagi diserahkan pada orangtua dan anak itu sendiri. Selama kita bisa memanfaatkan alam dan lingkungan sekitar sekitar sebagai media belajar -karena alam merupakan bagian dari hidup kita-, Selama ada pengajar seperti Bu Diah yang mencintai dunia pendidikan dan total dalam pekerjaannya, Selama pendidikan di sekolah mengutakan akhlak baik, Selama itu juga kita orangtua tak perlu khawatir dimana anak Akan bersekolah.
Tulisan diikutsertakan dalam Giveaway Sekolah Impian
youtube mommylicious #parentingbook
Catatan: Mohon maaf, nama-nama disamarkan agar tak mengganggu privasi yang bersangkutan. Tulisan ini dibuat berdasar kondisi saat saya masih mengajar di sana. Kondisi terkini mengenai fisik, pembelajaran dan sebagainya bisa menghubungi link Sekolah Alam Bintaro.
Sumber referensi: catatan pribadi Bu Diah, koran-sindo.com, mommiesdaily.com
Seru juga ya mak sekolah alam itu.. di Cimahi masih asing nih dengan sekolah alam..
ReplyDeleteBelum ada ya mak sekolah alam di Bandung?
DeletePontianak masih belum ada sekolah Alam model di Bintaro ini
ReplyDeleteBelum ada yang memulai
Ayo pa dimulai...apalagi pontianak mgk lebih kaya alamnya...
Deletesekolah alam sepertinya memang lebih menyenangkan utk anak2 ya mak... apalagi anak2 yg aktif. kalo di Serang ada sekolah alam, namanya sekolah peradaban
ReplyDeleteIya mak, belajar seperti bermain asal jangan kebablasan mainnya..:)
Deletehalo mba, juri berkunjung. Untuk tempel videonya kalau sulit bisa ambil html langsung dr youtube. Kalau belum nongol juga minimal bisa copas linknya.
ReplyDeleteMakasih kunjungannya mak
Deletewow selamat ya mak juara 1
ReplyDeleteMakasih mak..
Deleteseandainya saja ada sekolah alam di kotaku...
ReplyDeleteAyooo...nanti Dija yang bikin sekolah alam disana
Deleteaku jadi kesini...bagus ya mak.. tapi kayaknya milih aulia aja
ReplyDeleteKira-kira investasinya berapa ya, Bun buat gabung di Sekolah Alam ini? :)
ReplyDeleteMenarik nih konsep edukasinya..
bisa hubungi langsung sa bintaro mba :)
DeleteAssalamu'alaikum Bu, saya adalah salah satu mantan murid di sekolah alam dari tahun 2009-2013. Saya sedang mengenang masa lalu tentang SABIN dan melihat ada foto saya juga di cuplikan tersebut dengan menggunakan baju kuning dan cardigan serta kerudung berwarna pink:) Bagaimana bu kabarnya? Semoga sehat selalu ya bu. Saat ini saya baru saja menamatkan pendidikan SMA Negeri di wilayah Purwokerto dan berniat untuk bekerja terlebih dahulu. Saya masih kerap berkomunikasi dengan beberapa teman saya dulu disana. Sekian bu terimakasih, saya juga kangen dengan keunikan SABIN itu sendiri dibandingkan sekolah lainnya.
ReplyDelete