Kenali Postpartum Depression Sejak Dini!
Hidupku terasa berat sekali setelah ibu
pulang. Ibu bilang, ingin menemani bapak berlebaran. Ya, memang beberapa hari
lagi lebaran akan datang. Ya sudah, aku merelakan ibu pulang. Aku mulai
berkutat dengan cucian bayi, menyusui, mengurus seorang bayi, seorang balita,
seorang suami serta rumah. Semua kulakukan sendiri karena asisten rumah tangga
yang didatangkan ibu hanya bertahan 2 minggu. Entahlah, dia bilang ingin
menemani neneknya yang sakit. Atau, mungkin ia tak tahan dengan kelakuan anak
pertamaku yang sering memukulnya.
Waktu 24 jam rasanya tak cukup buatku karena
ada saja pekerjaan rumah tangga yang harus diselesaikan. Padahal urusan keluar
rumah untuk belanja macam-macam sudah dialihkan pada suami. Anak pertamaku yang
tadinya mulai mandiri ke kamar mandi, sekarang rasanya lebih rewel dan selalu minta
perhatian. Seringkali saat aku menyusui bayiku, anak pertamaku minta dibersihkan
kotorannya setelah BAB. Aku meminta suamiku untuk membantu dan ia menolak
karena tidak terbiasa. Alih-alih memberinya motivasi untuk berani membersihkan
anaknya, aku malah marah padanya. Aku menyalahkan dirinya. Kadang aku juga
menyalahkan diriku yang tak becus melakukan semua hal sendirian. Aku cape, aku
merasa sendiri. Aku ingin mati saja.
Sumber: http://www.kompasiana.com/phalupiahero/madesu_54f7fb36a33311541d8b4cc6 |
Aku mulai mengkonsumsi kopi dengan alasan
agar aku selalu terjaga untuk melakukan berbagai pekerjaan yang harus
kulakukan. Minimal 3 kali sehari aku meminum kopi. Saat itu, aku mendengar
seorang penyanyi baru yang lagunya “I love you full” sangat terkenal, meninggal
karena kebiasaan buruknya menenggak kopi bergelas-gelas sehingga merusak organ
tubuhnya. Dalam hati, aku tertawa sinis pada diri sendiri. Bagus lah, aku bisa
meniggal karena kebiasaan minum kopi berlebihan!!!!
Aku sering membiarkan bayiku di lantai
bermain sendirian. Sementara aku tergolek di sampingnya dan tidur. Pantas seorang
tetangga kaget saat mendapat bagian belakang kepala bayiku rata karena terlalu
sering ditidurkan, tidak digendong. Aku sering merasa bodoh dan tak berguna
ketika anak pertamaku bertanya ini itu dan aku menjawab tidak tahu. Mana sempat
aku menambah isi otakku dengan membaca karena aku bergelut dengan seisi rumah
ini. Aku sering menemukan segumpal rambut rontokku dii lantai di seisi rumah. Yang
kubaca dari googling, itu wajar menimpa ibu menyusui dan akan normal setelah 6
bulan-an. Tapi tetap saja itu menambah kacau hatiku. Aku juga sering marah pada
suami dengan alasan yang tak jelas, kenapa ia tak membantuku di rumah, kenapa
ia begini dan begitu. Kemarahanku yang sering tak jelas dan membingungkan
mungkin membuat suamiku uring-uringan juga dan balas marah. Aku tak mau keluar
rumah dengan muka ruwet ini. Aku takut bertemu orang. Aku tak bisa tersenyum
ketika keluar rumah. Aku marah dan ingin teriak. Aku sedih dan tak tahu apa
yang terjadi dengan diriku. Aku ingin ditelan bumi saja dan menghilang, beres
sudah.
Katanya, sakit fisik itu bisa ditimbulkan
dari sakit batin. Entahlah. Kurasa puncak dari keruwetanku adalah diagnosa dokter
bahwa aku terkena infeksi getah bening, suami terkena darah tinggi, dan rumah
tangga kami mengalami badai yang tak pernah usai. Badai rumah tangga ini
membuatku putus asa dan terserah deh mau terjadi apapun aku tak peduli.
Aku sering teriak dalam hati sama Tuhan dalam
setiap shalat, “Ya Allah, kapan ini berakhir? Kapan? Kapan? Akhirilah penderitaanku!”
Namun jawaban Tuhan tidak serta merta datang. Dia mau ummat-Nya berusaha dulu
untuk mengubah nasibnya. Ya, kalau aku tak berusaha untuk memulai memperbaiki ini,
aku akan makin terpuruk dan aku takut akan semakin berani melakukan hal-hal
yang lebih kejam pada keluargaku. Aku menghubungi satu-satunya teman yang
paling dekat denganku. Aku curahkan segala gundahku padanya. Walau tak
menyelesaikan masalah, setidaknya aku merasa didengarkan. Sedihku sedikit demi
sedikit terobati dengan kegiatan ngeblog. Kegiatan ini juga mempertemukan aku
dengan teman-teman di dunia maya. Aku jadi sedikit tahu memanfaatkan internet
untuk menambah pengetahuan. Kalau anak bertanya dan aku tak tahu, aku tinggal
googling. Aku dipertemukan dengan komunitas hebat bernama Kumpulan Emak Blogger (KEB).
(Seorang ibu pejuang postpartum depression)
***
Pungky Prayitno adalah ibu muda satu anak
yang juga srikandi blogger tahun 2014. Pungky juga pernah mengalami hal seperti
saya paska melahirkan anak pertamanya. Bahkan mungkin lebih parah dari saya. Jujur
setelah punya 2 anak saya baru sadar kalau gejala-gejala emosi ibu setelah
melahirkan itu mengarah pada Postpartum depression (PPD/depresi paska
melahirkan). Sampai saat ini, Pungky tak henti berjuang untuk melepaskan diri
dari depresi postpartum depression.
sumber: newbornhub.com |
Untuk mengetahui gejala postpartum
depression, perlu dilakukan serangkaian tes. Saya kutip perkataan Annisa Fitri
Rangkuti, M.Psi dalam e-book berjudul
“Postpartum Depression, Mengapa Kita
Perlu Tahu” yang dibagikan gratis oleh KEB. Pembagian e-book tersebut digagas oleh Pungky sebagai survivor Postpartum Depression dalam gerakan #KEBAgentofchange.
“Untuk mendiagnosa gejala PPD, sudah dikembangkan suatu skala psikologis bernama Edinburgh Postpartum Depression Scale (EPDS) yang digunakan untuk mendiagnosa gejala yang mengarah pada PPD. EPDS terdiri dari 10 pertanyaan dengan 4 pilihan jawaban yang masing-masing diberi nilai 0, 1, 2, 3. Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang membutuhkan jawaban singkat ini biasanya dapat dikerjakan ibu dalam waktu 5 – 10 menit. Total skor keseluruhan adalah 30. Skor yang dianggap signifikan untuk mengalami PPD adalah 10. Diagnosa dengan menggunakan skala ini diberikan 2 kali. Pada 2 atau 3 hari pascapersalinan dan setelah lewat 2 minggu pascapersalinan, untuk melihat apakah gejala PPD yang dialami ibu berkurang atau justru meningkat.”
Jika tak memungkinkan untuk menjalani tes,
mungkin kita bisa mengenali gejala-gejala yang terjadi. Istilah baby blues mungkin lebih dikenal di
masyarakat dibanding postpartum blues
dan postpartum depression. Berikut saya
kutip pengertian dan gejala postpartum
blues dan postpartum depression
dari e-book yang sama.
“Di dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition, Text-Revision (DSM IV-TR), Postpartum Depression termasuk dalam subkategori dari Gangguan Depresi Mayor (Major Depressive Disorder). Penyebabnya sebenarnya tidak diketahui pasti. Faktor perubahan hormon selama kehamilan sampai persalinan, faktor genetik dan peristiwa hidup luar biasa yang berpengaruh ke kestabilan psikis diduga menjadi penyebab potensial.Sebelumnya, mari kita bedakan antara Postpartum Blues dengan Postpartum Depression dari gejala-gejalanya.Berikut ini adalah gejala-gejala Postpartum Blues (PB):o Suasana hati yang berubah-ubah (mood swing)· Cemaso Sediho Mudah tersinggung, maraho Sering menangiso Kurang konsentrasio Mengalami masalah tidurGejala-gejala Postpartum Depression (PPD) adalah gejala-gejala PB yang tingkat keparahan dan durasinya semakin meningkat, yang ditandai oleh:· Kehilangan minat pada banyak hal· Insomnia· Rasa mudah tersinggung dan cepat marah yang semakin intens· Kelelahan yang sangat· Kurang menikmati hidup· Merasa malu, bersalah dan tidak mampu menjadi ibu· Mood swing yang semakin parah· Kurang menikmati peran dalam mengasuh bayi· Menarik diri dari keluarga, teman dan lingkungan sekitar· Berpikir untuk melukai diri sendiri atau bayi (dalam tingkat yang ekstrim, berpikir untuk bunuh diri atau membunuh bayi)Gejala-gejala ini berfluktuasi dengan gejala dominan berupa kecemasan yang berlebihan dan muncul di empat minggu pertama pascapersalinan. Postpartum Blues, yang diperkirakan dialami oleh 80% ibu baru, biasanya hilang dengan sendirinya tanpa penanganan medis dalam waktu 2 minggu sejak bersalin. Bila sudah melewati masa 2 minggu itu sang ibu masih menunjukkan gejala-gejala gangguan kecemasan yang semakin berat, ditambah dengan adanya satu atau lebih faktor risiko, maka patut dicurigai sang ibu sedang mengalami PPD.Adapun faktor risiko yang dimaksud adalah:· Adanya riwayat depresi sebelumnya· Adanya riwayat depresi pada anggota keluarga· Kehamilan yang tidak diinginkan (korban perkosaan, hamil di luar nikah)· Status sosial ekonomi menengah ke bawahJadi, dengan adanya gejala-gejala PPD ditambah dengan satu atau lebih faktor risiko, sangat mungkin bila PB yang diderita ibu menjadi semakin parah sehingga meningkat menjadi PPD.”
Dengan mengenali gejala dan berbagai faktor
resiko terjadinya postpartum depression,
mudah-mudahan semua pihak yang terkait dengan persalinan ibu –ibu, ayah,
keluarga besar- dapat mempersiapkan diri jika postpartum depression terjadi. Agar gejala postpartum blues tidak berlanjut menjadi postpartum depression, bisa dilakukan langkah berikut ini:
sumber: hmhb-hawaii.org |
- Bila sudah merasa ada yang tidak nyaman dengan perasaannya, sang ibu hendaknya berbicara pada suami, orangtua, atau anggota keluarga lainnya yang nyaman diajak berkomunikasi, juga dokter yang merawat. komunikasi dan bersikap terbuka menjadi poin penting untuk segera mendapat penanganan atas ketidaknyamanan psikis yang dirasakan.
- Bila gejala postpartum blues/depression meningkat, bisa diberikan psikoterapi atau medikamentosa. Psikoterapi yang diberikan biasanya berupa konseling, sharing pengalaman di support group (kelompok yang terdiri dari orang-orang dengan masalah yang sama), relaksasi, dan sebagainya. Ibu bisa memilih metode psikoterapi mana yang dirasa cocok untuk dirinya. Sementara medikamentosa adalah pendekatan secara medis dengan memberikan obat antidepresan. Namun penggunaan obat antidepresan ini perlu dicermati juga, apakah obat yang dikonsumsi ibu aman bagi bayinya yang masih menyusui.
- Pendekatan spiritual juga penting sebagai pelengkap terapi. Dengan mendekatkan diri dan berserah diri kepada Tuhan, ibu diharapkan dapat lebih tenang dan tenteram dalam menjalani perannya sebagai ibu dan bersikap lebih positif.
Membaca e-book ini dan mengetahui gejala postpartum depression, besar kemungkinan waktu itu saya juga menderita postpartum depression karena gejala yang
ada sebagiannya terjadi pada saya. Komunikasi saya yang kurang bagus dengan pasangan,
menambah buruk gejala PPD yang terjadi. Saya ingin hal ini tidak terjadi pada
anda. Oleh karenanya, saya memberikan informasi ini pada anda. Kuatkan hubungan
dan komunikasi anda dengan pasangan maupun keluarga terdekat, dekatkan diri
dengan Tuhan. Kepada suami, bersabarlah atas istri. Jika gejala PPD muncul atau
berkelanjutan, segera lakukan sesuatu. Mengajaknya bicara, membantu
pekerjaannya, atau membawanya berobat. Jangan sampai terlambat menangani PPD. Kalau tidak, keselamatan ibu dan bayi terancam
waktu habis mealhirkan anak pertama, saya juga suka merasa sedih mba, merasa sendiri, tapi untungnya suami saya sering menemani saya dan ngertiin saya
ReplyDeletebersyukur sekali mba memiliki suami yg pengertian :)
Deletebutuh pertolongan ya mbak ibu yg memiliki gejala ini, demi kebaikan dirinya dan juga si bayi
ReplyDeleteSaya kena juga Mak, hampir kayak orang gila sampai botakin kepala hehehehhe. Orang-orang tersayang datang memberikan pertolongan karena ketidaksiapan saya untuk menghadapi kehidupan baru dengan bayi. Alhamdulillah anak kedua saya lebih siap dan tidak mengalami depresi lagi.
ReplyDeleteHarus ada orang terdekat yg mau mendengar curhat ibu yg habis melahirkan. Juga membantu pekerjaan rumah tangga sangat meringankan beban mereka.
ReplyDeleteBagus nih reviewnya, saya jadi ingat belum bikin bikin:)
Harus ada orang terdekat yg mau mendengar curhat ibu yg habis melahirkan. Juga membantu pekerjaan rumah tangga sangat meringankan beban mereka.
ReplyDeleteBagus nih reviewnya, saya jadi ingat belum bikin bikin:)
wah, ternyata mak kania jg pernah mengalami... serem ya... smoga dgn artikel ini, smua ibu yg mengalami ppd & orang2 terdekatnya bisa mendapatkan pencerahan
ReplyDeleteSy pernah seperti bukan diri sy pasca melahirkan hg awal 2015, rasa tidal percaya diri berlebihan hingga menangis tersedu sedu karena hal sepele. Dan setelah sy mengenal KEB setelah itu pikiran sy mulai tenang dg tiap melototi artikel2 emak2 hebah di KEB walau sy cuma nulisnya sangat jarang2 tp sy sudab sgt senang membaca punya emak. I love u full emak2 hebat walau kita tak saling kenal di dunia nyata setidak semoga selalu ada doa utk kalian semua
ReplyDeleteGimana caranya gabung d KEB? Soalnya saat ini sy lg alami postpartum depresi.
DeleteSaya jg
DeleteSy pernah seperti bukan diri sy pasca melahirkan hg awal 2015, rasa tidal percaya diri berlebihan hingga menangis tersedu sedu karena hal sepele. Dan setelah sy mengenal KEB setelah itu pikiran sy mulai tenang dg tiap melototi artikel2 emak2 hebah di KEB walau sy cuma nulisnya sangat jarang2 tp sy sudab sgt senang membaca punya emak. I love u full emak2 hebat walau kita tak saling kenal di dunia nyata setidak semoga selalu ada doa utk kalian semua
ReplyDeleteArtikel ini memberikan wawasan terbaru buat saya, wacana pembahasan ini sangat bermanfaat. Terimakasih :)
ReplyDeletejadi lebih tahu
Aku baru saja melewati hal ini.
ReplyDeleteAlhamdulillah.
Dapat diatasi.
Saya juga sempat mengalami baby blues mbak..karena kebetulan org tua perempuan saya sudh meninggal jadinya selama pasca melahirkan saya dibantu mertua karena suami masih awam ... mertua saya sih baik..cuma tetap saja rasanya beda dan terkadang saya sering berfikiran negatif...kalau ingat-ingat itu semua perasaan rsnya nggak enak..
ReplyDeleteSetiap melahirkan aku selalu kena, Mak. Ah... gak enak banget. Tapi untungnya kadar postpartum depressionnya beda-beda. Makin ke sini makin kecil. Dan dukungan orang-orang di sekitar kita sangat membantu penyembuhan...
ReplyDeleteAih senangnya, Mak Kania menuliskannya juga :)
ReplyDeleteMemnag ya mengerikan sekali PPD ini .. mudah2an banyak yang tercerahkan dengan gerakan di KEB :)
Memang perjuangan seorang ibu melahirkan.... terharu bacadetailreview paska melahirkan :)
ReplyDeletealhamdulillah saya tidak mengalami namun setuju untuk menyebarkan pentingnya PPD karena makin banyak yang mengalami yaaa..
ReplyDelete