Mudik Ke Dua Kota
Agustus 2011,
“Neng, amih mau pulang ya, mau lebaran di rumah. Kasian bapak sendirian.”
Begitu kata ibu saya beberapa hari setelah saya melahirkan anak kedua di akhir bulan Ramadhan tahun 2011. Dalam hati, saya merasa tak rela ibu pulang secepat itu ke kampung halaman. Maunya ya tentu saja ditemani ibu dalam mengurus bayi yang masih merah. Walaupun ini kelahiran anak kedua, tetap saja kehadiran orang yang lebih berpengalaman sangat diharapkan.
Tapi saya tentu tak boleh egois. Kapan saya akan jadi ibu yang dewasa jika bergantung terus sama ibu. Saya pun merelakan ibu pulang kampung. Kalau saya ada dalam posisi ibu, tentu saya pun tak tega membiarkan pasangan saya sendirian menghadapi tamu saat lebaran.
Setelah ibu pulang, mulailah hari-hari saya menghadapi lebaran sambil mengurus sesosok bayi merah, seorang balita dan seorang pria dewasa (Eh, yang terakhir itu perlu diurus juga kan? Hehe). Pantangan dokter untuk mengangkat benda berat setelah operasi, saya siasati dengan misalnya mendorong ember cucian ke tempat jemuran. Tahun itu sebenarnya giliran kami berlebaran di kampung halaman suami. Kami terpaksa harus rela tak pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga besar karena tak memungkinkan bagi kami untuk melakukan perjalanan jauh.
Bagaimana rasanya melakukan ibadah di bulan Ramadhan dan menghadapi lebaran dengan situasi yang berbeda dengan kebanyakan orang? Mm, saya tentunya iri saat tetangga pulang dari masjid subuh-subuh, sementara saya malah sedang menjemur pakaian bayi. Saya tentunya sedih berat tidak bisa merasakan suasana lebaran dengan kehangatan dan kebersamaan bersama keluarga besar yang jarang bertemu. Terhitung hanya ada dua rombongan yang mampir ke rumah saat lebaran. Rombongan tetangga yang pulang dari masjid selepas shalat Ied, dan rombongan keluarga teman dekat suami. Itu pun saya sangat bersyukur dan memaklumi. Hampir semua tetangga dan saudara pulang kampung saat lebaran.
Selepas shalat Ied, Zaidan –anak pertama saya- dan ayahnya menyantap ketupat yang saya pesan dari seorang kenalan. Setelah itu, sudah, tak kemana-mana. Sesekali suami keluar rumah membeli keperluan bayi dan keperluan sehari-hari. Benar-benar suasana lebaran yang ‘garing’.Walau sedih karena tak bisa berkumpul dengan keluarga besar, saya harus tetap semangat karena ada bayi kecil yang harus saya urus.
Juli 2015,
Satu hari sebelum lebaran, saya sudah sampai di rumah orangtua suami di sebuah kota kecamatan bernama Pamanukan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Mamah mertua sudah membagi jatah kamar untuk masing-masing keluarga. Sementara itu, yang masih bujang tidurnya di ruang tengah. Ngampar, begitu istilahnya dalam bahasa sunda. Artinya, menggelar kasur atau tikar di ruang tengah untuk ditiduri beramai-ramai.
Lebaran di rumah mertua diwarnai dengan berbagai hal. Shalat Ied, sudah tentu. Malam takbir diramaikan oleh anak-anak dengan bermain kembang api bersama. Ketupat beserta lauknya sudah pasti tersedia, serta silaturahim bersama saudara yang jarang bertemu.
Suasana silaturahim ke rumah saudara yang sakit. Foto pinjeman. |
Kami berkunjung ke rumah salah seorang saudara sedang sakit, bicaranya tidak jelas dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Dia sesekali memanggil istrinya untuk meminta bantuan dengan suara yang tidak jelas. Istrinya mendampinginya dan membantunya dengan sabar. Kakak ipar setengah berbisik berkata, “Mm, kalau kita yang diberi ujian ini mungkin tak akan sesabar dia (istrinya).” Ya, saya pun membenarkan. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan. Kita hanya bisa berharap selalu diberikan kesehatan dan kesabaran di kala mendapat ujian sakit.
Esok harinya, sebagian besar keluarga suami pergi ke wisata pemancingan di Subang, Jawa Barat. Suami pulang ke Jakarta karena harus segera bekerja dan saya ke rumah orangtua karena anak-anak masih libur sekolah. Saya sudah menduga demikian sih. Setiap lebaran, saya dan suami seringkali tidak bisa berlama-lama menikmati libur lebaran bersama. Seringnya karena suami segera disibukkan dengan pekerjaannya, sementara saya dan anak-anak masih ingin liburan hehe. Untungnya suami juga tak masalah jika saya masih ingin liburan (asal jangan lama-lama, ups).
Saya berusaha BAHAGIA dimanapun walau suami tak bisa menemani. Saya berusaha memanfaatkan waktu yang sedikit ini dengan kebersamaan yang berkualitas bersama keluarga besar. Selain dengan cara silaturahim ke rumah saudara, kebersamaan kami nikmati juga dengan mengunjungi tempat wisata Bumi perkemahan Palutungan di kota kelahiran saya. Saya sudah cukup bahagia melihat kebahagiaan di mata orangtua yang puas dengan kebersamaan bersama cucu-cucu. Saya sudah cukup bahagia melihat tawa riang anak-anak saat bersama saudara-saudaranya.
Kebersamaan anak-anak dengan para sepupu |
Di kampung halaman orangtua, saya mengunjungi nenek dari pihak bapa. Usianya sudah 90 tahunan. Beliau sudah sakit-sakitan, bergerak dari satu ruangan ke ruangan lain di rumah dengan cara ngesot. Ketika saya datang, beliau sedang makan sendirian karena semua anak dan cucu beliau sibuk menerima tamu saat lebaran. Awalnya beliau lupa ketika pertamakali melihat saya, namun akhirnya ingat. Beliau menangis saat teringat adik-adik dan saudara yang sebaya sudah meninggal. Bicara beliau diulang-ulang dan selalu bertanya hal yang sama. Maklum, sudah sepuh. Lagi-lagi saya berfikir, kita tak pernah tahu masa depan. Ajal kita cepat atau lambat. Kita hanya bisa berharap, saat dijemput malaikat Izrail dalam keadaan husnul khatimah dan diberikan kesehatan saat diberi bonus usia oleh Allah SWT.
Dari hari ke hari, kita seharusnya menjadi orang yang #lebihbaik, mendapat hal yang #lebihbaik. Lebaran tahun ini, mungkin #lebihbaik dari tahun sebelumnya karena saya bisa mudik ke dua kota untuk menikmati kebersamaan dengan keluarga suami dan keluarga saya sendiri. Baru kali ini terjadi, satu momen istimewa yaitu Idul Fitri dan saya bisa berkumpul dengan 2 keluarga besar.
Namun yang lebih utama dari itu, saya seharusnya menjadi pribadi yang #lebihbaik karena sudah mendapat banyak latihan saat Ramadhan. Latihan menahan hawa nafsu, latihan menjaga amarah, latihan beribadah ekstra, latihan shalat malam dan sedekah, dan sebagainya. Semoga kita semua bisa menjadi lulusan Ramadhan yang #lebihbaik dari tahun sebelumnya.
Saya malah lebaran skrg yg g bisa ke mesjid mbak...krna anak saya masih 10 bulan..sedih aih ramadhan nya jd g kerasa tp dsyukuri saja...
ReplyDeleteSukses kompetisinya ya mba...
iya masing2 ada bagian ibadahnya ya mba, resikonya sebagai ibu ya mengandung melahirkan menyusui, pasti ada masa puasanya ga full
DeleteUntung 2 anakku lair pas deket2 idul adha semua mb...jadi ttp dapet moment lebaran,meski kayak pemain drum band..( bw perut buncit pas lebaran). Btw..sukses lombanya yaa * mau ikutan, tp kok blm ada ide yaaa....
ReplyDeletesaya aja di ada2in nih, hehe maksa gapapa lah melatih tulisan
Deleteamin mba, semoga saja kita diberi kesempatan hidup untuk bisa bertemu kembali dengan bulan ramadhan :)
ReplyDeleteamiiinn ya Allah ... smeoga bisa bertemu Ramadhan lagi dan bisa beribadah lebih baik dari tahun ini. betewe.. goodluck ngontesnya :)
ReplyDeletemakasih mak muna
Deleteamin..mudah2an kita jadi pribadi yg lebih baik setelah ramadhan dan masih bisa berkesempatan jumpa ramadhan berikutnya mba, amin..
ReplyDeletesukses lombanya ya
aamiin
DeleteKemarin puasa terakhir aku masih halangan Allhmadulillah bisa sholat Ied
ReplyDeletesaya malah ga dapat ekor mak, ga solat ied :)
Deleteramadhan kali ini sempat bolong puasanya 5 hari, padahal yg lalu full semua. efek kb nih :D
ReplyDelete'halangannya' gak nentu..
sukses lombanya ya mbak.
saya belum nulis nih..
oooh iya waktu saya pake suntik malah ga haid :(
Deletesukses buat lombanya mbak
ReplyDeleteramadhan memberi pengalam riil untuk menjadi pribadi yg lebih baik,
ReplyDeletekalo mudik selalu dirindukan, selalu berkesan.
sukses kompetisinya
Sukses lombanya ya mba :)
ReplyDeleteSemoga kita bisa jadi lebih baik dari sebelumnya.Amin
ReplyDeleteSukses buat lombanya ya :)
aamiin, makasih
DeleteLebaran kali ini terasa lebih baik ya mbak, pastinya bersyukur banget. Meski tinggal di Bali saya juga selalu mudik ketika lebaran, karena kumpul keluarga saat lebaran terasa begitu menyenangkan. Semoga menang ya mbak
ReplyDeleteaamiin, makasih doanya mak
DeleteBeruntung suami saya cuma tetangga kampung jadi bisa menikmati kebersamaan secara full :)
ReplyDeleteSukses lombanya ya mbak....
makasih, enaknya satu kampung gitu ya mba kaya adik saya mudik ga ada masalah karena satu kampung
Deleteamin semoga kita masih bisa menikmati ramadhan berikutnya :)
ReplyDeleteaamiin
DeleteAku mudiknya cuman ke Bandung sih, deket, Hihi, tapi namanya mudik mah insya alloh pasti ada kesan-kesannya, apalagi pas Ramadhan :)
ReplyDeleteabisjarang2 ya mba cuma sekali setaun
Deletesemoga kita semakin lebih baik seusai hari raya. aamiin :)
ReplyDeleteaamiin
DeleteSilaturahim, mendatangi saudara, memang sangat dianjurkan. Bagaimanapun bertemu langsung beda dengan komunikasi jarak jauh. Semoga barokah & makin erat persaudaraannya. :)
ReplyDeleteaaamiin
DeleteAlhamdulillah ya mbak, masih bisa berkumpul dengan keluarga besar saat lebaran :)
ReplyDeletealhamdulillah
Deletewaah alhamdulillah bisa mudik ke dua kota sekaligus ya mak...apa karen ada cipali juga nih...jadi lebih cepat. sukses lombanya mak
ReplyDeletemakasih mak
DeleteSetelah menikah, tiap tahun saya lebaran di dua kota juga, Mak. Tapi berdekatan yaitu Nganjuk dan Kediri. Karena 2 nenek suami (dari alm. bapak dan ibu suami) justru masih sehat semua :)
ReplyDeletealhamdulillah, nenek masi sehat semua ya :)
Deletesenengnya bisa mudik ke 2 kota sekaligus :)
ReplyDeleteSemoga saja menjadi pribadi yang lebih baik :)
ReplyDeletegapapa taun depan kan bisa berlebaran dengan bayi baru nya (?) hahaha
ReplyDeleteSemoga saudara yang sakit diberi kesehatan oleh Allah Swt.
ReplyDeleteOhya, benar sekali, lebih dari itu semuanya, semoga selepas Ramadhan semoga menjadi pribadi yang lebih baik. Aamiin...
aamiiin
Delete