5 Makanan Ini mengingatkan Saya Pada Kota Kembang
Tak terpikir pun di benak saya akan tinggal untuk sementara
waktu di Bandung. Yang terpikirkan saat lulus SMA adalah ingin kuliah di
Jurusan Psikologi atau Bahasa Inggris, dan kalau bisa di luar kota hehe. Ya,
rasanya ingin sekali mendapat pengalaman baru di luar kota, ingin tahu dunia lain
di luar kota saya. Sayangnya hasil ujian UMPTN saya gagal semua dan saya
bingung akan ngapain. Begitulah kalau hanya punya satu rencana. Seharusnya saya
memiliki plan B sebagai antisipasi dan dapat segera mengambil keputusan saat
plan A gagal. Jangan dicontoh ya dik!
Dalam kebingungan, bapak mengusulkan untuk mencoba mendaftar
di sebuah politeknik negeri di Bandung. Setelah mengikuti tes seleksi, Alhamdulillah
saya lulus dan horeeee…jadi mahasiswi, walaupun di jurusan yang membayangkannya
pun saya tak tahu akan menghadapi apa. Jurusan Administrasi Bisnis. Yang
penting bisa kuliah dan membahagiakan orangtua.
Hari-hari sebagai mahasiswi di kota kembang1 pun
saya jalani. Tiga tahun kuliah di politeknik dan tinggal di sebuah desa di
Bandung utara, dua tahun kuliah S1 dan tinggal di daerah Dago, telah menorehkan
berbagai kenangan tentang Bandung baik yang manis maupun yang pahit. Baik
tentang percintaan dan pertemanan, perkuliahan dan jalan-jalan ke tempat
menarik di bandung, pengalaman spiritual dan lainnya.
Saya ingin menceritakan hal yang menyenangkan saja yang saya
ingat dari kota kembang ini, yaitu… makanan enak! Ya, saya ini termasuk orang
yang kurung batok, istilah dalam
bahasa sunda yang artinya kurang pengalaman hidup. Yang saya tahu tentang
makanan enak itu adalah sayur asem bikinan ibu, tempe goreng bikinan ibu, sayur
singkong (juga) bikinan ibu, sayur kacang merah bikinan ibu, dan surabi serta
gorengan bikinan tetangga di kampung.
Bergaul dengan teman yang suka makan, suka jalan, dan
pengetahuan kulinernya lebih banyak, membuat saya jadi tahu, “Ada loh makanan
enak selain makanan buatan ibu dan tetangga”, “Ini loh kuliner dari
Bandung”, dan sebagainya.
Ini adalah daftar makanan yang mengingatkan saya pada kota
kembang:
- Surabi dengan berbagai toping
Surabi Enhai ini snack saat acara woman Talk di Jakarta tahun lalu |
Sekitar tahun 2000-an awal (saya lupa tepatnya), sedang
hangat-hangatnya pembicaraan tentang satu kedai makanan yang menjula surabi
dengan berbagai toping. Letaknya tak jauh dari tempat kuliah dan kost saya.
Namanya surabi Enhai, karena terletak di depan sekolah pariwisata Enhai (sebenarnya
NHI, Cuma gak tahu dibacanya jadi Enhai).
Beberapa kali saya lewat kedai tersebut dan terlihat antrian
yang sangat panjang. Ah, males banget rasanya mengantri berjam-jam untuk satu
makanan yang akan hilang dalam hitungan menit, pikir saya. Sampai suatu saat
teman satu kost (dalam satu rumah kost kami yang kecil, ada 3 orang termasuk
saya) yang mau jalan-jalan sama pacarnya dan membeli surabi Enhai, menawarkan
diri untuk membelikan surabi Enhai. Ah, kebetulan atuh kalo gitu, saya dan teman saya yang satu lagi pun nitip untuk
dibelikan surabi sama dia. Kami memesan surabi dengan toping berbeda supaya
bisa saling mencicipi.
Saat sang teman pulang, kami bertiga menikmati surabi
tersebut dengan sukacita. Surabi Enhai dilengkapi dengan berbagai toping seperti
oncom pedas, coklat keju, pisang coklat, sosis, telur, dan yang lainnya. Saya
pesan yang paling murah yaitu oncom pedas dan coklat keju. Enak lah pokoknya,
apalagi kalau dimakan hangat-hangat.
Kalau ini surabi ala kampung halaman saya, dimakan dengan gorengan |
Melihat makanan bernama surabi ini, Saya pun jadi ingat dan
kangen sama kampung halaman di Kuningan. DI kampung saya, surabi dimakan dengan
gorengan macam-macam seperti bakwan, cireng, dan comro. Tiap pagi setelah
shalat Subuh, ibu saya membeli surabi dan gorengan di tetangga samping rumah
untuk teman ngopi atau ngeteh. Surabi mengingatkan saya pada cinta ibu untuk
keluarganya.
Sekarang surabi Enhai udah ada dimana-mana, tak hanya di
Bandung. Saat saya mengikuti sebuah acara talkshow dimana Irma Rahayu sebagai
narasumbernya, di Jakarta tahun lalu, snack-nya
ternyata surabi Enhai. Ya ampuuun, kita ketemu lagi ya. Bagus lah, kuliner Bandung makin dikenal.
Bahkan, surabi merupakan 1 dari 30 makanan khas Indonesia yang wajib diajarkan
di seluruh sekolah pariwisata di Indonesia! Good,
good.
- Nasi merah
Pertamakali saya mencoba nasi merah ya di Bandung, dikenalin
sama Tuti, teman dari satu kota yang sama, SMA yang sama, kampus yang sama, dan
sama-sama merantau di Bandung. Senangnya berteman dengan Tuti ini orangnya
semangat, antusias, kalau bicara cepat, dan senang tertawa. Orang yang cepat ‘memble’ kayak saya jadi terpacu lagi
semangatnya kalau ada dia.
Suatu hari Tuti mengajak saya menikmati satu kuliner yang
cukup terkenal di Bandung, yaitu nasi merah. Salah satu kedai penjual nasi
merah dan lauknya yang cukup terkenal adalah yang berlokasi depan Mesjid
Istikomah Bandung. Tuti menceritakannya dengan mata berbinar dan saya pun
termakan rayuannya.
Ini salah satu menu di rumah beberapa waktu lalu: nasi merah, tumis kangkung, ikan dan tempe goreng |
Sampai di lokasi, saya mengikuti Tuti, memesan nasi merah
yang dibungkus daun (daun pisang apa jati ya? Lupa, maaf). Lalu kami mengambil
lauknya yaitu ayam goreng, sambal dan lalap. Begitu disuap, terasa aneh nasi
merah ini di mulut saya. Maklum saya baru pertamakali coba. Rasanya pera,
keras, susah ditelan. Tapi melihat Tuti yang begitu antusias, saya tentu tak
mau mengecewakannya. Saya lupa, apa saya menghabiskan nasi merah tersebut atau
tidak. Yang teringat di kepala, ya rasanya itu.
Ternyata di kemudian hari saya bantu suami jualan nasi merah
yang dipasok dari sebuah pabrik beras di Subang. Ya, paling asik memang jualan
barang yang sudah kita kenal rasa dan manfaatnya, Jadi lebih enak menyampaikan
kualitas barang sama konsumen. Anehnya, beras merah yang saya jual itu rasanya
pulen seperti nasi putih biasa (terutama kalau takarannya pas). Za dan Ra pun
mau saja saya suapi nasi merah.
Pada saat lain, suami membeli nasi merah di supermarket.
Rasanya mirip dengan yang saya makan sewaktu di Bandung, pera, keras. Saya jadi
berfikir, kok bisa beda ya? Apa yang menyebabkan nasi merah beda rasanya, yang
satu pulen dan satunya tidak? Apakah organik dan tikak organik bisa
mempengaruhi rasa? Ah saya tidak tahu dan harus mencaritahu jawabannya.
- Piscok
Piscok itu singkatan dari pisang coklat, makanan yang
terbuat dari kulit lumpia diisi pisang dan coklat. Lagi-lagi, seorang teman
satu kost yang mengenalkan. Pulang dari jalan-jalan, dia selalu membawa
oleh-oleh makanan yang tak lupa ditawarkan sama teman satu kost-nya. Salah
satunya adalah piscok. Saya pun bertanya sama dia, “Belinya dimana?”. Di
Gerlong, jawabnya. Gerlong itu adalah nama jalan, singkatan dari gegerkalong. Jalan
gerlong ada dua sebenarnya, satu menuju pesantren Daarut Tauhid-nya Aa Gym,
satu lagi menuju kampus Politeknik Negeri Bandung. Nah, Jalan Gerlong yang dimaksud
adalah Jalan Gerlong menuju kampus politeknik.
sumber |
Sejak itu, kalau kebetulan lewat Jalan Gerlong, saya tak
lupa mampir ke gerobak penjual piscok yang dimaksud teman saya. Kadang saya beruntung
mendapat piscok yang masih hangat dengan lumeran gula di kulit lumpianya. Kadang
juga hanya tinggal beberapa piscok saja yang tersisa dengan kondisi dingin.
Oh ya, selain piscok, juga ada nascok. Hehe ini sih saya
yang ngasih nama. Nascok itu kulit lumpia yang isinya nanas. Ehmm, enaaak. Rasa
asam nanas berpadu dengan manisnya gula pasir dan renyahnya kulit lumpia. Kalau
nascok masih tersedia, saya pasti membeli beberapa. Sekarang penjual
piscok itu masih ada atau tidak, saya kurang tahu.
Entah bagaimana awalnya, ibu di rumah juga jadi suka bikin
piscok. Bedanya, ibu menaruh gula pasir hanya di dalam bagian lumpia sehingga
bagian luar kulit lumpia tidak lengket setelah digoreng karena gula pasir yang
meleleh. Ibu sering bikin banyak sekalian. Sambil menunggui warung, dia
membungkus pisang dan coklat dengan kulit lumpia, satu-satu. Lalu ditaruhnya di
kulkas, kalau mau dihidangkan tinggal goreng. Saat berkunjung ke rumah setelah
saya menikah, Ibu juga sering membekali piscok mentah.
Ah, kenapa semua makanan
enak itu ada kaitannya dengan ibu ya.
- Tumis cuciwis
Aih, cuciwis kan sayuran biasa yang bisa didapat dimana
saja. Ya, saya malah tak tahu cuciwis sampai saya dikenalkan sama sayuran ini
oleh (lagi-lagi) Tuti. Saat itu kita tinggal satu kost dan ingin mencoba masak
sendiri. Terus terang, dari dulu sampai sekarang saya gak jago masak. Di rumah
orangtua, saya seringnya kebagian tugas jaga warung saat ibu masak. Jadilah,
saya ini anak gadis yang minim pengetahuan tentang jenis-jenis makanan.
sumber |
Tutilah yang beinisiatif memasak menu tumis cuciwis dan
tempe goreng. Saat lihat daun cuciwis ini di tukang sayur dekat kost-an, saya
sempat heran dan bertanya-tanya. Daun apaaa ini, mirip sawi tapi mungil.
Di tempat kost, daun cuciwis ini ditumis sama Tuti dengan
bawang, garam dan minyak sedikit saja tanpa ditambahi air. Setelah siap, saya,
Tuti dan teman-teman lain pun makan. Aih, enak yah ternyata tumis daun cuciwis
ini. Rasanya renyah, seperti terdengar bunyi ”kres’kres” gitu saat memakannya. Ya Allah, nikmat sekali makan sederhana kami saat itu. Nasi putih hangat, tumis
cuciwis dan tempe goreng. Alhamdulillah. Sejak itu, kalau melihat daun cuciwis,
saya jadi ingat Tuti yang mengenalkannya pertamakali. Namun rasanya saya belum
juga bisa memasak daun cuciwis serenyah buatan Tuti.
- Nasi Lengko
Ih, bukannya nasi lengko itu makanan khas Cirebon? Iya sih,
tapi saya baru benar-benar menikmati nasi lengko saat di Bandung. Kok bisa?
Iya, ceritanya, saya, Za dan Ra menyusul ayahnya Za dan Ra yang lagi dinas di
Bandung. Pagi-pagi berangkat dari Bintaro, kami sampai Bandung siang hari dan
langsung ke hotel tempat ayahnya Za dan Ra menginap.
sumber |
Sudah lewat waktu makan siang, kami masih saja di hotel. Za
dan Ra sudah berceloteh saja minta makan. Akhirnya kami keluar hotel, berjalan
menyusuri Jalan Dago untuk mencari tempat makan. Kami sampai pada
sebuah tempat makan ala food court
bernama The Kiosk. Satu persatu gerobak makanan di The Kiosk kami datangi.
Duuh, kalau udah lihat banyak menu suka bingung sendiri. Akhirnya, suami
memesan nasi lengko. Entah apa pertimbangannya, mungkin diet, mungkin murah,
atau lebih terjamin kehalalannya. Sedih ya bicara halal, di negeri mayoritas
muslim ini kita masih khawatir saja tentang kehalalan makanan yang kita makan.
Tak mau pusing, saya pun memesan menu yang sama untuk Za dan Ra. Ajaibnya, dua anak ini mau saja disuapi nasi lengko. Padahal
biasanya gado-gado saja tidak mau. Mungkin karena lapar tingkat tinggi yang
menjadikan Za dan Ra menikmati makanan apapun di depan mereka. Ya, kelaparan
seringkali membuat kita bersyukur atas semua makanan, sesederhana apapun itu.
Saya juga rasanya menikmati benar nasi lengko itu. Menu
sehat yang terdiri dari nasi putih, sayuran, tahu, tempe, diguyur sambal kacang
dan dilengkapi kerupuk itu benar-benar lezat. Mungkin yang membuat enak itu
adalah bumbunya, selain rasa lapar. Di komplek rumah saya ada ibu-ibu yang
menjual gado-gado enak. Saya dan suami sering langganan sama dia. Saya sering
melihatnya menambahkan kentang rebus dalam ulekan sambal kacangnya. Mungkin
itu yang membuat sambal kacang buatanya jadi enak. Tapi, lagi-lagi saya belum
bisa membuat sambal kacang seenak ibu itu kalau membuat gado-gado sendiri di
rumah. Kata orang, lain tangan yang membuat satu makanan, lain pula rasanya.
Itulah 5 makanan yang mengingatkan saya pada Kota Kembang.
Bagaimana dengan sahabat? Adakah kenangan tentang kota ini? Mari kita saling
bertukar cerita.
Keterangan:
- Istilah kota kembang berasal dari peristiwa yang terjadi pada tahun 1896 saat Bestuur van de Vereninging van Suikerplanters (Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula) yang berkedudukan di Surabaya memilih Bandung sebagai tempat penyelenggaraan kongresnya yang pertama. Sebagai panitia kongres, Tuan Jacob mendapat masukan dari Meneer Schenk agar menyediakan ‘kembang-kembang’ berupa noni cantik Indo-Belanda dari wilayah perkebunan Pasirmalang untuk menghibur para pengusaha gula tersebut.
Kalau surabi, saya tetep cuma suka yang pakai saus kinca. Jadi pengen surabi, ih :)
ReplyDeleteSy baru niatnya aja bikin sendiri d rumah :)
DeleteKl di kampung saya Kuningan surabi dimakan sama pia-pia mak. Alias bakwan :D
ReplyDeleteeh mba orang kuninga juga?
Deletejadi kangen Bandung :(
ReplyDeleteiya ya mba, pernah di bandung juga?
DeleteDuuh surabi, enaknya makanan ini
ReplyDeletedi tempat mba Enny juga ada ya
Deletewah naksir sama piscoknya sama tumis cuciwis
ReplyDeletemari masak, mumpung libur :)
Deletesurabi asli bandung memang tiada duanya hihihi
ReplyDeleteudah lama ga nyoba lagi saya juga
Deletepiscok udah pasti jadi fav saya mak
ReplyDeletegampang lagi kalau bikin :)
DeleteAku juga doyan tumis cuciwis itu. Wah, Tuti apa kabarnya, ya? Udah lama ga say atau chit chat. Dunia maya bikin dunia nyata terasa sempit. Tuti emang rame, asik orangnya. Padahal baru ketemu sekali.
ReplyDeleteTuti tinggal di cirebon sekarang mak sama keluarganya
DeleteDi Bandung juga ada nasi merah tow kak? tak kira cuman ada di Gunungkidul aja ew,,, hehehe,,, eh Piscok ama Lumpia berarti beda ya? Nasi Lengko bolehlah di coba jika ke Bandung :-)
ReplyDeletepiscok itu kulit lumpia diisi pisang dan coklat. ada, yg terkenal di depan mesjid istikomah dan daerah punclut
Deleteciloknya gak ada mbak?
ReplyDeletecilok biasanya malah kalo pulkam saudara saya bikin sendiri
DeleteWaaaah.... jadi pengen Surabi Enhai. Hehehehe.... makasih udah ikutan GA saya. :)
ReplyDeletesami-sami
DeleteSurabi Enhai enak itu sepertinya
ReplyDeleteSalam kenal ya mbak :)
enaaaak mba
DeleteHalo Mak Kania, boleh saya minta alamat pengiriman hadiahnya? Kirim ke email saya niaharyanto@gmail.com, ya. Tulisan ini menang di GA saya. Terima kasih :)
ReplyDeletesaya baru ngeh mak, maaf ya, done ya udah dikirim via email
DeleteNasi merah itu terbuat dari apa ya mbak, dari ubi bukan ya mbak ?
ReplyDeleteberas yg warnanya merah
DeleteBandung memang kota yang tidak akan terlupakan mba. Nice artikel.
ReplyDeletepiscoknya mantap
ReplyDelete