Lebaran Bersama Bapak
“Nostalgia membuat rasa percaya diri, memberikan motivasi…blablabla”
Suara penyiar radio itu terus nyerocos mengurai kesepian dalam mobil yang kunaiki saat arus balik lebaran. Sambil menatap langit yang sangat cerah di atas sana, aku mendengarkan celotehannya tentang nostalgia. Benar juga yang dikatakan penyiar laki-laki ini. Yang kurasakan pun demikian. Setelah nostalgia di kampung halaman saat mudik lebaran kemarin, biasanya aku akan kembali ke perantauan dengan hati yang lebih baik.
Pemandangan langit saat arus balik |
***
Sabtu pagi, empat hari sebelum lebaran, aku dan keluarga kecilku akhirnya sampai di kampung halamanku di sebuah desa yang termasuk wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Perjalanan ditempuh dalam waktu 8 jam perjalanan. Normalnya, jarak yang bisa ditempuh dari Jakarta ke Kuningan paling sedikit 5 jam lewat tol Cipali.
Aku bisa memaklumi jika perjalanan ini lebih lama sedikit dari biasanya. Kalau kata orang sunda mah lagi “marema”, lagi ramai karena musim mudik menjelang lebaran. Aku mungkin masih beruntung jika dibanding orang lain yang harus menempuh jarak dan waktu lebih lama ketika mudik ke kampung halaman. Aku pun rasanya rela bersabar untuk momen mudik yang hanya bisa kulakukan setahun sekali ini.
Mobil berwarna silver milik suamiku berhenti pelan di sebuah rumah berwarna putih yang menyatu dengan warung kelontong yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga. Kulihat seorang lelaki memakai sarung, rambutnya sudah memutih, tengah menyapu halaman depan rumah itu. Dia bapakku. Sejak pensiun dari pekerjaan mengajar, bapak sehari-harinya mengisi hari dengan berkebun, membantu ibuku melayani pembeli di warung dan melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu halaman di pagi hari.
“Bangun Za, Ra..kita sudah sampai..” Aku membangunkan kedua anakku.
Mobil diparkir dan koper-koper diturunkan. Bapak dan ibuku menyambut kami sekeluarga dan menciumi cucunya satu-persatu dengan penuh kerinduan. Kebiasaan bapakku, selain mencium cucu-cucunya juga mencium keningku. Ciumannya di keningku mengalirkan kasih sayang ke seluruh tubuhku dan mengingatkanku pada segala kenangan manis masa kecil dengan bapakku.
Bapak Mengutamakan Tugasnya di Masyarakat
“Ayo kita buka bersama di luar rumah” Ajak ibuku pada sore hari setelah aku sampai di rumah. Aku heran, tak biasanya keluargaku buka bersama di luar rumah. Setahuku, keluargaku orang rumahan semua, senang berkumpul bersama keluarga dengan masakan rumah. Ibuku seperti tahu isi pikiranku lalu dia berkata, “Tahun lalu kamu buru-buru pulangnya dan nggak sempat jalan-jalan sama keluarga besar. Sebelum kamu keburu pulang, ayo kita jalan-jalan dulu berbuka di luar rumah.”
Aku dan ibuku di RM Alinda, Sangkanhurip, Kuningan |
Oh, aku mengerti. Pikiran orangtua selalu tertuju pada anaknya. Aku memang pernah merasa cemburu ketika keluarga besarku berkumpul semua dan pergi jalan-jalan, sementara aku harus pulang lebih cepat ke perantauan karena suamiku harus segera bekerja. Tak sengaja tercetus dari mulutku tentang hal ini dengan spontan. Aku tak bermaksud membuat hati ibuku sedih. Aku juga harus mematuhi posisiku sebagai istri yang harus patuh pada suami. Tapi tak dinyana, mungkin keluhanku terus diingat ibuku. Maafkan..
Keluargaku, keluarga kakakku, keluarga adikku, plus ibuku, kami berangkat jam setengah lima menuju sebuah rumah makan di kawasan wisata Sangkanhurip, Kuningan. Bapak tidak ikut, seperti biasanya jika ada acara jalan-jalan keluara. Bapak harus mengimami jamaahnya di sebuah langgar kecil di belakang rumah kami.
“Kasihan bapak..” Kata ibuku. Ia lalu memesan satu porsi ikan bakar untuk bapak di rumah.
Sebagai pengurus masjid desa, bapak sering didatangi untuk dimintai pendapat dan dukungannya tentang berbagai hal. Seorang mahasiswi semester 5 yang juga tetanggaku dan pembaca blogku bilang, ia nyaman datang ke bapak dibanding sama orang lain ketika meminta dukungan untuk kegiatan keagamaan yang akan ia laksanakan.
Sebagai anak, aku belajar sesuatu dari idolaku yang tak lain ayah ibuku. Mereka berbagi tugas dengan saling pengertian. Bapakku melaksanakan tugasnya di masyarakat dan ibuku menemani keluarga. Aku pun berharap bisa meniru mereka dalam hal saling mengerti satu sama lain.
Bapak Memberikan Pengalaman Berharga Buat Cucu-cucu
“Ayo, ikut ke kebun!” Ajak bapak pada Za dan Ra. Dua anak ini yang memang lagi masa-masanya ingin tahu segala hal, tentu saja gembira bukan main. Bersama kakak laki-lakiku, mereka berempat pergi ke kebun bapak yang letaknya agak jauh di belakang rumah.
Pulang dari kebun, bapak membawa satu tandan pisang. Sementara itu, sandal Za dan Ra penuh dengan tanah. Aku biarkan Za membersihkan sendiri sandalnya. Sementara Ra, ribut sendiri karena gak nyaman sandalnya penuh tanah dari kebun.
“Nanyaaa terus mereka. Gimana pisang tumbuh, dan sebagainya. Bapak sampai bingung jawabnya.” Kata kakakku.
Di hari lainnya, bapak mengajak Za melihat kambing dipotong. Kebetulan ada tetangga samping rumah yang sedang melaksanakan akikah. Ra menangis ingin ikut juga. Akhirnya Za, Ra, dan dua orang sepupu mengikuti bapak melihat prosesi akikah di rumh tetangga. Mereka juga kooperatif tidak bikin ribut.
Menurutku, ini pengalaman berharga buat Za dan Ra. Di sinilah jalan bagi orang dewasa untuk mengenalkan pada anak-anak tentang akikah dan keutamaannya. Aku juga diingatkan kalau ternyata Ra belum di-akikah-kan.
Ra dan bapak, sepulang dari berdoa di kuburan pada pagi hari setelah shalat Idul Fitri |
Cerita-cerita Bapak Selalu Kurindu
Ngobrol, ngobrol, dan ngobrol. Itu adalah hal yang paling mengasyikkan yang aku lakukan ketika mudik bersama keluargaku. Maklum, jarang bertemu. Sekalinya bertemu, inginnya bertukar cerita yang banyak.
Bapakku sedang ngobrol dengan kakakku tentang kehidupan masyarakat di desa kami. Aku yang duduk tak jauh dari mereka pun ikut menyimak. Kata bapak, dulu orang-orang takut ketika datang untuk mendoakan orang yang meninggal. Lalu pemuka agama terdahulu (kyai) membujuk orang-orang untuk datang mendoakan orang yang meninggal dengan iming-iming “shalawat”. Ketika orang-orang tengah menadahkan tangannya (posisi berdoa), kyai memberikan uang koin ke tiap tangan. Uang koin itu Ia namakan shalawat untuk menarik perhatian orang-orang agar tidak takut datang mendoakan orang yang meninggal.
Bapak sempat protes waktu itu pada kyai. Kyai menjelaskan bahwa kondisi masyarakat memang belum bisa diberikan pengertian secara langsung, amun bertahap. Sekarang, ketika orang sudah tidak takut lagi mengurus jenazah dan mendoakannya, sudah tidak ada lagi yang namanya koin “shalawat”.
Begitu juga ketika ada acara akikah atau penyembelihan hewan kurban, hewan yang akan disembelih biasanya dipakaikan kain putih dan bunga-bunga. Entah maksudnya apa karena hal itu bukan merupakan bagian dari agama. Namun sekarang, seiring pemahaman agama semakin baik, tradisi itu sudah semakin jarang dipakai.
Cerita-cerita lainnya dari mulut bapak akan selalu kutunggu. Kubingkai menjadi kenangan indah, sejarah dan pelajaran hidup yang berharga.
Bapak Tak Lagi Muda
Di usianya yang ke 68, bapak masih kuat bangun pagi untuk shalat tahajjud dan mengisi air di kamar mandi sampai penuh untuk kebutuhan sekeluarga. Tapi ingatan bapak sudah mulai berkurang, seperti saat Idul Fitri kemarin.
Takbir terus berkumandang sejak malam Idul Fitri sampai pagi harinya. Orang-orang sekampung berduyun-duyun datang ke masjid di pagi hari untuk shalat Idul Fitri. Kali ini bapakku kembali dipercaya untuk menjadi imam dan khatib Idul Fitri di masjid desa.
Dengan suara bergetar karena haru, beliau mengumandangkan takbir dan memimpin shalat. Rakaat pertama shalat idul Fitri diawali dengan 7 takbir, membaca Alfatihah dan surat alquran. Tibalah rakaat kedua, bapak langsung membaca Alfatihah dan salah satu surat Alquran, padahal disunnahkan untuk bertakbir sebanyaak 5 kali di rakaat kedua shalat Idul Fitri.
“Hampuraaa, si bapak teh geus kolot, pohoan…(maafkan, bapak udah tua, pelupa)” Kata bapak ketika sampai di rumah sambil menyalami dan mencium satu persatu anaknya, menantu dan cucu.
“Kumaha nya hukumna, da kumaha poho…(gimana ya hukumnya, soalnya lupa (baca takbir))” Tanya bapak sama anak menantu ketika membahas takbir yang terlewat di shalat Idul Fitri.
“Gak apa-apa pak, sunnah.” Jawab suamiku pendek. Takbir tambahan di shalat hari raya sebelum bacaan Alfatihah disebut takbir Zawaid1 dan hukumnya sunnah. Jika lupa atau makmum tertinggal takbir, tidak perlu diulang shalatnya.
***
Pemandangan pinggir tol Cipali. Gunung Ciremai yang terlihat jelas dari depan rumahku, pelan-pelan mengecil dan lenyap dari pandangan mata. |
“Maaf ya, bapak gak bisa lihat kalian berangkat. Bapak harus mengantar tetangga yang menikahkan anaknya.” Kata bapak ketika aku dan keluarga kecilku akan kembali ke perantauan. Dia memberikan beberapa nasihat lalu menyalami aku, suamiku, Za dan Ra dan pergi menunaikan tugasnya sebagai abdi masyarakat.
Begitulah bapak, selalu saja ada orang yang membutuhkan dan meminta pertolongannya. Aku bangga jadi putri bapak. Aku juga ingin hidupku bermanfaat di jalan yang aku mampu. Semoga bapak tetap sehat dan semangat dalam menebar kebaikan. Insyaallah, lebaran tahun depan kita bertemu lagi, ngobrol lagi, ajak cucu ke kebun lagi. Insyaallah.
Liburan Idul Fitri sudah selesai. Aku harus kembali ngeblog sambil ngurus keluarga, anak-anak akan kembali sekolah, suami pun kembali bekerja. Akan ada banyak kegiatan menanti, termasuk salah satunya event dari DiaryHijaber.com yaitu Hari Hijaber Nasional pada 7-8 Agustus 2016 di masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta. Jangan lupa datang untuk yang bisa hadir.
Sumber referensi:
- https://konsultasisyariah.com/7327-jika-ketinggalan-takbir-shalat-id.html
Hikz kangen bapak :"(
ReplyDeleteSenang bacanya, betapa punya orangtua yang masih lengkap itu hal yang tak bisa tergantikan di dunia :)
ReplyDeleteiya mba, alhamdulillah :)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSalut dengan Bapaknya mba yang selalu mengutamakan membantu sesama. Semoga digantikan pahala oleh Allah SWT. Amin
ReplyDeleteamiin
DeleteDuh, mewek mba lebaran td ayahku sendiri ga ada yg nemenin. Aku ikut suami lebaran di rumah mertua, adikku jg ke kampung istrinya..hikkz
ReplyDelete