Banjir Lagi

Sore itu, saya sedang menikmati waktu dengan anak-anak. Tanggal tua, saya memilih untuk tak pergi kemana-mana demi menghemat pengeluaran. Lagipula, suami sedang keluar kota. Rasanya lebih aman memang di rumah bersama anak-anak, aman untuk kantong, aman untuk keselamatan anak-anak. Kalau pergi keluar rumah yang agak jauh, seringnya saya memilih menitipkan anak di rumah dengan suami atau sekalian menagajak suami biar ada yang bantu menjaga anak-anak di perjalanan.

Sore itu, hari Sabtu yang kelabu, hujan deras turun di luar rumah. Saya membuat mie goreng untuk makan sore. Makan malam saya seringnya disantap sore hari. Kata para pakar sih, memang baiknya begitu, di atas jam 7 malam sudah tak boleh makan lagi biar perut tak terlalu penuh yang mana bikin gendut. Tapi kadang juga kalau ada suami di rumah harus menunggu suami sampai malam untuk bisa makan bersama. Yah, tergantung situasi saja.


mie goreng sarimi
MI goreng saat hujan deras di luar rumah ^^

Mie goreng instan itu saya tambahkan sayur dan daging sapi sisa-sisa Idul Adha. Sayur, sedikit banyak mengurasi rasa bersalah karena sebenarnya suami dengan tegas melarang sering makan mie instan di rumah. Eh, tapi nggak sering kok pa, sesekali saja terutama saat bapak nggak ada hehe. Yah gimana ya, kalau lagi kepengen itu seperti orang yang ngidam, keingetan terus sama makanan yang dipengen dan bikin air liur meleleh.

Saya makan bertiga, melingkar dengan Za dan Ra. “Wah, ide bagus mi..!” Kata Za saat saya menyodorkan 2 piring besar yang masing-masing berisi nasi dan mie goreng. Jadi kita makan bersama dari 2 piring tersebut, maksudnya sih biar hemat cucian piring hehe. Dan biasanya dengan melingkar begini, anak-anak mau makan sendiri-sendiri menggunakan tangan mereka, tidak disuapi. Tapi sore itu, Ra maunya disuapi. Kalau Za karna sudah besar, 9 tahun, tentu saja makan sendiri lah.

Tapi ya Allah, anak-anak ini sedang kelebihan energi atau apa ya. Piring dimana..orangnya dimana. Kejar-kejaran berdua lalu tertawa terbahak-bahak. Setelah mulut kosong, mereka baru menghampiri piring. Suara saya yang meperingatkan mereka untuk duduk, tak mereka hiraukan. Saya juga lagi gak konsen menghadapi mereka karena suara hujan di luar rumah semakin deras.

Sudah sekitar 5 kali saya kebanjiran sejak pindah ke rumah yang saya tempati sekarang. Karena memang komplek rumah saya letaknya lebih rendah dari perkampungan. Juga, tak jauh dari komplek rumah terdapat sebuah sungai. Jadi memang beresiko besar kebanjiran jika hujan deras datang.

banjir bintaro
Za dan Ra asyik main air saat hujan deras

Selesai makan, Za dan Ra berlari keluar rumah. melihat-lihat kondisi sekitar rumah. Ternyata air sudah memenuhi jalanan, hampir memasuki teras rumah kami yang sudah tinggi. Melihat air yang melimpah itu, senanglah hati Za dan Ra. Seperti melihat kolam pribadi di rumah, mereka melompat ke genangan air dan berenang-renang disana. Ya Allaaah, berkali-kali Za dan Ra saya peringatkan tentang air yang kotor, tak dihiraukan.

Saat adzan Magrib berkumandang, hujan masih deras. Saya membawa Za dan Ra ke dalam rumah, mengganti baju mereka dan kami shalat bersama.  Doa kami panjatkan bersama. “Allahumma sayyiban naafian..(Ya Allah, turunkan hujan yang bermanfaat). Ayo doa yayng banyak, Salah satu doa yang akan Allah kabulkan adalah doa ketika hujan turun..” Kata saya sama Za dan Ra.

Tak lama setelah kami shalat, barulah saya menyadari bahwa air mulai memenuhi dapur dan kamar belakang. Air yang menggenang berasal dari beberapa titik atap yang bocor, lubang-lubang di dalam tanah, dan mungkin juga lubang di belakang rumah yang kurang rapat saya kunci. Saya berusaha menyumpal genangan dengan kain, namun apa daya air-air tersebut lebih banyak dan kuat sehingga terus memenuhi rumah. 

Mulanya hanya di kamar belakang, lalu lama-lama merangsek ke ruang makan, kamar tidur, kamar depan, ruang tamu. Maka ratalah air ‘bertamu’ ke dalam rumah setingi mata kaki. Untungnya sih hampir semua barang sudah saya ‘amankan’ di tempat yang lebih tinggi. Sudah jadi kebiasaan saya dan suami untuk siap siaga, ketika hujan derasa barang-barang langsung dibereskan.

Pasrah. Itulah yang akhirnya saya lakukan. Za dan Ra sementara bisa kalem dengan duduk di atas kasur. Tapi sesekali mereka turun dari kasur dengan alasan: mau ambil mainan lah, mau ambil minum lah, mau lihat air banjir lah, dan lain-lain.

banjir bintaro
Za dan Ra membantu menguras air

Selepas Isya, hujan baru sedikit demi sedikit berhenti. Namun air banjirnya belum surut. Biasanya memang begitu. Hujan berhenti, air banjir malah naik. Namun itu tidak lama, beberapa saat kemudian air surut perlahan-lahan. Saya pun bersiap-siap untuk menguras air. Rumah memang sedikit aneh. Tinggi di halaman depan, namun rendah di dalam rumah karena memang halaman depan dan kamar mandi yang dibuat tinggi. Jadi air banjir tidak bisa keluar sendiri melainkan harus dikuras.

“Ayo anak-anak, bantuin umi ya kuras airnya..!” Daripada main air tak karuan, akhirnya saya minta tolong Za dan Ra untuk menguras air. Waaah, mereka tentu saja seneng banget, kesempatan untuk main air sepuasnya. Ah, biarlah mereka asyik dulu, karena diilarang pun tetap basah. Selagi mereka main, saya bisa konsentrasi menguras air banjir. Satu gayung demi satu gayung, air dimasukkan ke ember lalu setelah penuh dibuang keluar rumah. Begitu seterusnya. Za dan Ra tak sedikit pun lelah. Mereka antusias…main air! Saat yang dinanti adalah saat membuang air ke jalanan karena disana air masih seperti kolam.

Dua jam sudah saya menguras air, tulang rasanya mau patah. Huhu. Air pun belum langsung sirna tentunya. Ra sudah kelelahan, saya gantikan bajunya dan minta ia menunggu di kamar sambil memainkan smartphone saya. Lama-lama ia kelelahan dan tertidur, disusul oleh Za yang terpejam di sampingnya.

Saya masih terus bekerja mengeluarkan air dari seluruh ruangan. Setelah air mulai sedikit, saya gunakan lap untuk memeras air dari lantai ke ember. Dua kipas dinyalakan untuk membantu air segera kering. Jam 12 malam saya menyerah, padahal masih ada ruangan yang tergenang air. Saya terbaring di samping Za dan Ra untuk istirahat dan berharap esok hari air sudah tak ada. Yang mana tentu saja tidak, semua ruangan rumah dilap berkali-kali keesokan harinya agar tak ada genangan yang tertinggal.

banjir bintaro
Asyik bantu sambil main air

Banjir hari Sabtu kemarin adalah keenam kalinya menghampiri rumah. Dengar-dengar, dari pemerintah daerah setempat sudah  diturunkan orang untuk memperbaiki tanggul komplek yang jebol. Namun hujan yang datang bisa saja merubuhkan tanggul lagi. Saya hanya bisa mengantisipasi dan terus bersiap dengan segala kemungkinan. Karena musibah bisa terjadi di manapun.

Datangnya musibah sedikit banyak ada andil kita di dalamnya. Seorang ibu yang saya temui di masjid saat anak les ngaji, malah bilang begini, “Kalau kata suami saya, banjir itu jangan banyak mengeluh, jangan disesali. Ambil saja hikmahnya..yaitu dia bisa nyuci dua motor sampai bersih pakai air yang melimpah itu.”

Aah ada-ada saja ibu. Baiklah, hikmahnya bagi saya adalah: kolong-kolong jadi bersih karena kotoran tersapu air banjir. gorden yang jarang dicuci pun jadi wangi karena setelah terkena air banjir tentunya harus dicuci dong!

Comments

  1. kalau banjir segitu yang seneng anak anak, mungkin klo banjir kita bisa beralih mode ke anak anak, biar bisa merasakan kebahagiaannya

    ReplyDelete

Post a Comment

Terimakasih sudah meninggalkan komentar yang baik dan sopan.

Popular posts from this blog

Rekomendasi Homeschooling Terbaik Untuk Solusi Belajar Anak

Perhatikan Hal Ini Sebelum Bermain Badminton

Bermain Kartu UNO

Biaya Masuk SMP Islam di Tangerang Selatan

Usia Nanggung Bikin Bingung (Memutuskan Kapan Anak Akan Sekolah)