Ternyata, Kita Semua Sama..
Kadang aku merasa situasi yang sedang kuhadapi tidak normal seperti keluarga lain. Aku sedang bolak balik diantara dua kota belakangan ini. Anakku yang sulung sedang memerlukan support karena sedang belajar di luar kota.
Setiap bepergian, aku selalu membawa si bungsu yang usianya akan 6 tahun Maret nanti. Ia terpaksa harus keluar dari sekolah Taman Kanak-kanak yang tinggal 1 semester lagi.
Sebuah keputusan yang sulit, namun mungkin yang terbaik untuk saat ini. Si bungsu masih dapat belajar banyak hal selama kuajak bepergian. Sementara si sulung memang sulit jika harus pindah sekolah ke kota asal, karena tinggal beberapa bulan lagi ia akan menghadapi kelulusan.
Suatu hari dalam perjalanan menuju kota tempat anakku belajar, si bungsu duduk anteng di sampingku. Ia melihat-lihat berbagai situasi di sekelilingnya. Padahal sebelum berangkat ia sempat mengeluh bosan karena bolak balik terus ke dua kota.
Sebuah keluarga masuk terakhir ke dalam mobil. Kakek, cucu perempuan, ayah, dan terakhir ibu serta anak kecilnya yang berusia kira-kira dua atau tiga tahunan. Ibu itu duduk di sampingku. Anaknya langsung rewel begitu masuk.
"Huhu, jajan..jajan..mau jajan.."
Begitu terus kata si anak sambil menangis. Dan si ibu berusaha menenangkannya.
"Diam de, kalau tidak mau diam ade sama papa aja ya. Diam ya, mama malu de, udah diam ya.."
Sebagai ibu yang juga punya anak, aku mengerti banget dengan situasi ini. Aku juga pernah mengalami situasi yang mirip. Andai aku ada jajanan mungkin sudah kusodorkan pada si adik yang menangis, sayangnya tadi sudah dihabiskan bungsuku.
Si bungsu di sampingku melihat terus ke arah adik kecil yang menangis dan aku berusaha mengalihkan perhatiannya, khawatir si ibu bertambah malu dan terganggu.
Setelah beberapa lama, akhirnya si adik kecil dipindahkan ke depan untuk dipangku oleh papanya. Sang papa berusaha mengajak si adik bicara. Eh, lama-lama si adik pun tangisannya berhenti dan asyik terlibat obrolan dengan papanya.
"Nanti ya de jajannya di depan rumah ada warung.
"Iya"
"Nanti Ade mau jajan apa? Cokelat yang Angka 8?"
"Iya, cokelat"
"Mau berapa belinya de?"
"4!"
"Ade sekarang bobo dulu nanti kalau lewat warungnya papa bangunin ya!"
"Iya"
"Sekarang mau makan ini dulu?"
Begitu lucu dan menggemaskan suara ceriwis di adik kecil saat mengobrol dengan papanya. Adik kecil akhirnya mau makan makanan yang ditawarkan papanya. Pasti sang ibu merasa lega ada partner yang bisa diandalkan dalam mengurus si kecil.
Dalam adegan yang terjadi selama beberapa menit itu, aku melihat sungguh luar biasa peran ayah dalam pengasuhan. Banyak ahli menilai pentingnya peran ayah dalam pengasuhan, diantaranya untuk perkembangan emosi, sosial, kognitif, moral anak, dan lainnya.
Sang ibu lalu sibuk dengan handphonenya, mengirim dan menerima pesan. Lalu handphonenya berdering dan si ibu berbicara dengan suara di telepon. Tiba-tiba hening sejenak dan lalu terdengar suara isak tangis si ibu setelah mengobrol dengan orang di telepon.
Ternyata, kita semua sama. Kita semua punya masalah. Kita semua berjuang menghadapi masalah masing-masing. Kita ternyata nggak sendiri. Aku dengan masalahku berusaha menghadapi dan mengatasinya, begitupun orang lain sama adanya.
Henry Manampiring dalam bukunya yang berjudul Filosopi Teras mengatakan bahwa survey Khawatir Nasional yang dilakukannya pada tahun 2017, menunjukkan bahwa 63% orang merasa khawatir dengan hidupnya. Aku tidak tahu apa yang dihadapi ibu itu dan keluarganya. Aku hanya bisa berdoa, semoga ia baik-baik saja, aku pun baik-baik saja dengan pertolongan Allah SWT, insha'Allah.
Comments
Post a Comment
Terimakasih sudah meninggalkan komentar yang baik dan sopan.